Selasa, 18 September 2018

Skripsi Pembina'an Soft Skill Santri Pondok Pesantren Al-Barkah Gunung Tua

Rabu, 27 September 2017

Hubungan Antara Dosa Dan Bencana



Hubungan Antara Dosa Dan Bencana
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِي اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
أَمَّا بَعْدُ؛ أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُؤْمِنُوْنَ الْمُتَّقُوْنَ، وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.
Ma’assyirol muslimin, rahimakumullah
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Subhannahu wa Ta'ala yang telah menjadikan kita sebagai hamba-hambaNya yang beriman, yang telah menunjuki kita shiratal mustaqim, jalan yang lurus, yaitu jalan yang telah ditempuh orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah, dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin.
Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya, semoga shalawat dan salam selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau dengan baik hingga hari kiamat.
Selanjutnya dari atas mimbar ini, perkenankanlah saya menyampaikan wasiat kepada saudara-saudara sekalian dan kepada diri saya sendiri, marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala selama sisa umur yang Allah karuniakan kepada kita, dengan berusaha semaksimal mungkin menjauhi larangan-laranganNya dan melaksanakan perintah-perintahNya dalam seluruh aktivitas dan sisi kehidupan. Sungguh kita semua kelak akan menghadap Allah sendiri-sendiri untuk mempertang-gungjawabkan seluruh aktivitas yang kita lakukan. Pada hari itu, hari yang tidak diragukan lagi kedatangannya, yaitu hari kiamat, tidak akan bermanfaat harta benda yang dikumpul-kumpulkan dan anak yang dibangga-banggakan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang salim, hati yang betul-betul bersih dari syirik sebagaimana firmanNya dalam Surat Asy-Syu’aro ayat 88-89:
(Yaitu) di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (Asy-Syu’ara’: 88-89)
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Dalam kesempatan khutbah Jum’at kali ini saya akan membahas tentang hubungan antara dosa dan bencana yang menimpa umat manusia sebagaimana yang diterangkan di dalam Al-Qur’an. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman dalam Surat Ar-Ruum ayat 41 yang berbunyi:
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Allah juga berfirman dalam Surat An-Nahl ayat 112:
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”
Seorang ulama’ yang bernama Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu memberi ulasan terhadap kedua ayat tersebut dengan mengatakan: “Ayat-ayat yang mulia ini memberi pengertian kepada kita bahwa Allah itu Maha Adil dan Maha Bijaksana, Ia tidak akan menurunkan bala’ dan bencana atas suatu kaum kecuali karena perbuatan maksiat dan pelanggaran mereka terhadap perintah-perintah Allah” (Jalan Golongan Yang Selamat, 1998:149)
Kebanyakan orang memandang berbagai macam musibah yang menimpa manusia hanya dengan logika berpikir yang bersifat rasional, terlepas dari tuntutan Wahyu Ilahi. Misalnya terjadinya becana alam berupa letusan gunung berapi, banjir, gempa bumi, kekeringan, kelaparan dan lain-lain, dianggap sebagai fenomena kejadian alam yang bisa dijelaskan secara rasional sebab-sebabnya. Demikian dengan krisis yang berkepanjangan, yang menimbulkan berbagai macam dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga masyarakat tidak merasakan kehidupan aman, tenteram dan sejahtera, hanya dilihat dari sudut pandang logika rasional manusia. Sehingga, solusi-solusi yang diberikan tidak mengarah pada penghilangan sebab-sebab utama yang bersifat transendental yaitu kemaksiatan umat manusia kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala Sang Pencipta Jagat Raya, yang ditanganNyalah seluruh kebaikan dan kepadaNya lah dikembalikan segala urusan.
Bila umat manusia masih terus menerus menentang perintah-perintah Allah, melanggar larangan-laranganNya, maka bencana demi bencana, serta krisis demi krisis akan datang silih berganti sehingga mereka betul-betul bertaubat kepada Allah.
Ikhwani fid-din rahimakumullah
Marilah kita lihat keadaan di sekitar kita. Berbagai macam praktek kemaksiatan terjadi secara terbuka dan merata di tengah-tengah masyarakat. Perjudian marak dimana-mana, prostitusi demikian juga, narkoba merajalela, pergaulan bebas semakin menjadi-jadi, minuman keras menjadi pemandangan sehari-hari, korupsi dan manipulasi telah menjadi tradisi serta pembunuhan tanpa alasan yang benar telah menjadi berita setiap hari.
Pertanyaannya sekarang, mengapa segala kemungkaran ini bisa merajalela di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim ini? Jawabannya adalah tidak ditegakkannya kewajiban yang agung dari Allah Subhannahu wa Ta'ala yaitu amar ma’ruf nahi mungkar, secara serius baik oleh individu maupun pemerintah sebagai institusi yang paling bertanggung jawab dan paling mampu untuk memberantas segala macam kemungkaran secara efektif dan efisien. Karena pemerintah memiliki kekuatan dan otoritas untuk melakukan, meskipun kewajiban mengingkari kemungkaran itu merupakan kewajiban setiap individu muslim sebagaimana sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.
Artinya: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan tangannya, bila tidak mampu ubahlah dengan lisannya, bila tidak mampu ubahlah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman” (Hadits shahih riwayat Muslim)
Namun harus diketahui bahwa memberantas kemungkaran yang sudah merajalela tidak hanya dilakukan oleh individu-individu, karena kurang efektif dan kadang-kadang beresiko tinggi. Sehingga kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar itu bisa dilakukan secara sempurna dan efektif oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Usman bin Affan Radhiallaahu anhu , khalifah umat Islam yang ketiga:
“Sesungguhnya Allah mencegah dengan sulthan (kekuasaan) apa yang tidak bisa dicegah dengan Al-Qur’an”
Disamping itu amar ma’ruf nahi mungkar merupakan salah satu tugas utama sebuah pemerintahan, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Sesungguhnya kekuasaan mengatur masyarakat adalah kewajiban agama yang paling besar, karena agama tidak dapat tegak tanpa negara. Dan karena Allah mewajibkan menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar, menolong orang-orang teraniaya. Begitu pula kewajiban-kewajiban lain seperti jihad, menegakkan keadilan dan penegakan sanksi-sanksi atau perbuatan pidana. Semua ini tidak akan terpenuhi tanpa adanya kekuatan dan pemerintahan” (As Siyasah Asy Syar’iyah, Ibnu Taimiyah: 171-173).
Apabila kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar itu tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka sebagai akibatnya Allah akan menimpakan adzab secara merata baik kepada orang-orang yang melakukan kemungkaran ataupun tidak. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, dalam sebuah haditst Hasan riwayat Tarmidzi:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشَكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يُسْتَجَابَ لَكُمْ.
Artinya: “Demi Allah yang diriku berada di tanganNya! Hendaklah kalian memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar atau Allah akan menurunkan siksa kepada kalian, lalu kalian berdo’a namun tidak dikabulkan”.
Demikian pula Allah menegaskan di dalam QS. Al-Maidah ayat: 78-79, bahwa salah satu sebab dilaknatnya suatu bangsa adalah bila bangsa tersebut meninggalkan kewajiban saling melarang perbuatan mungkar yang muncul di kalangan mereka.
Artinya: “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang perbuatan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat”
Yang dimaksud laknat adalah dijauhkan dari rahmat Allah Subhannahu wa Ta'ala . Dengan demikian supaya bangsa ini bisa keluar dan terhindar dari berbagai krisis dalam kehidupan di segala bidang dan selamat dari beragam musibah dan bencana, hendaklah seluruh kaum muslimin dan para pemimpin atau penguasa mereka, bertaubat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang perbuatan-perbuatan mungkar sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing, mentaati Allah Ta’ala dan menjauhi seluruh larangan-larangan dalam seluruh aspek kehidupan.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
Khutbah Kedua
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيْئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.
Dalam khutbah kedua ini saya akan memberikan kesim-pulan dari khutbah pertama. Yang pertama, kemaksiatan manusia kepada Allah Rabbul ‘Alamin merupakan penyebab utama terjadinya berbagai musibah yang menimpa umat manusia baik itu berupa bencana alam maupun krisis di berbagai bidang kehidupan. Yang kedua, satu-satunya jalan untuk terhindar dari segala musibah tersebut dan dapat menikmati kehidupan yang aman, tenteram, damai dan sejahtera adalah dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Allah dan RasulNya Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam dalam seluruh aspek kehidupan yang ada dengan penuh ketundukkan, kecintaan dan keikhlasan. Yang ketiga, bahwa segala do’a dan istighatsah yang dilakukan umat Islam supaya bisa keluar dari segala macam musibah tidak akan dikabulkan oleh Allah kecuali bila kaum muslimin secara sungguh-sungguh memerintahkan kepada yang ma’ruf dan memberantas segala yang mungkar.
Akhirnya marilah kita tutup khutbah Jum’at ini dengan berdo’a kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala :
رَّبَّنَآ إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ ءَامِنُوا بِرَبِّكُمْ فَئَامَنَّا، رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْعَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ.
رَبَّنَا وَءَاتِنَا مَاوَعَدتَنَا عَلَىرُسُلِكَ وَلاَتُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لاَتُخْلِفُ الْمِيعَادَ.
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى رَسُوْلِهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.



perencanaan pembelajaran


DESAIN PEMBELAJARAN
OLEH:

M. SAIDI

NIM : 1314010827

PENGETAHUAN DASAR TENTANG PEMBELAJARAN

1. Pengertian perencanaan pembelajaran
}Desain adalah sebuah istilah yang berasal dari dari kata “ design”  ( bahasa inggris) yang bararti perencanaan atau rancangan adapula yang mengertikan  dengan “persiapan” . Didalam ilmu manajemen pendidikan atau ilmu administrasi pendidikan , perencanaan disebut dengan istilah “planning” yaitu persiapan menyusun suatu keputusan berupa langkah-langkah penyelasaian suatu masalah atau pelaksanaan suatu pekerjaan yang terarah pada tpengaujuan suatu pekerjaan yang terarah pada pencapaian sutautujuan tertentu”.
}pengajaran Kebanyakan ahli pendidikan/pengajaran mengatakan bahwa pengajaran adalah terjemahan dari instruction atau teacing. Tetapi menurut arif S. Sadiman, ia kurang sependapat akan padanan yang demikian. Jadi desain pengajaran adalah suatu pemikiran atau persiapan untuk melaksanakan tugas mengajar/aktivitas pengajaran dengan menerapkan prindip-prinsip pengjatran  serta melalui langkah-langkah  pengajaran, perencanaan itu sendiri, pelaksanaan dan penilaiannya.

Dasar dan Tujuan Serta Mamfaat Penyusunan Perencanaan Pembelajaran
Dasar perencanaan pembelajaran 
1.untuk memperbaiki kualitas pembelajaran perlu diawali dengan perencanaan pembelajaran yang diujudkan dengan adanya desain pembelajaran .
2.peresuatu pemncanaan belajaran didacukan pada bagaimana seseorang belajar.
3.untuk merancang suatu pembelajaran perlu menggunakan pendekatan sisitem
5.pembelajaran yang dilakukan akan bermuara pada keteampilan tujuan pembelajaran
6.sasaran akhir dari perencanaan desain pembelajaran
7.untuk merencanakan suatun desain pembelajran pada siswa secara perorangan 

Tujuan dan mamfaat menyusun perencanaan pembelajaran
}1. sebagai petujuk arah kegiatan dalam mencapai tujuan
}2. sebagai pola dasar dalam mengatur tugas dan wewenang bagi setiap unsur yang terlibat dalam kegiatan
}3. sebagai pedoman kerja bagi setiap unsur baik unsur guru maupun unsur murid.
}4. sebagainalat ukur efektif tidaknya suatu pekerjaan.
}5. untuk bahan penyusunan data agar terjadi kesimbangan kerja
}6. untik menghjemat waktu, tenaga, alat;alat dan biaya

Bentuk-bentuk perencanaan pembelajaran

}Guru berperan sebagai perencana harus dapat memutuskan bentuk perencanaan kerjaan yang dibyang cocok dan sesuiandengan lingkup pekerjaan yang dibebankan kapada guru makean (omar hamalik:1980) membagi bentuk perencanaan atas 3 bentuk.
1.Perencanaan  jangka panjang
Jangka panjang adalah mengembangkan dan memelihara persfektif yang berkenaan dengan konsepsi scara menyeluruk tentang pembelajaran yang akan di berikan oleh karena itu guru perlu memikili keterampilan dalam membangun unit sumber dan unit yang memuat organisasi penmbelajaran.
2. perencanaan  jangka pendek
Harus pleksibel dan adaftif dan harus terarah pada kegiatan pembelajaran harian dalam kelas.
3. unit pembelajaran
Unit pembelajarn yang di kenal dal satuan pembel;ajaran hendaknya diberi kesempatan kontribisinyA terhadap perencanaan kesempatan ini akan turut memperkaya kemungkinan  untuk  mencapai  tujuan instruksional .

SEKIAN 

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI DAN AL-FARABI


PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI  DAN AL-FARABI

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW. Kami pemakalah bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan Hidayah serta taufiqnya , sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kuliah.
Makalah ini saya susun dengan tujuan agar dapat digunakan untuk mempermudah proses perkuliahan kita dan agar pembaca dapat memahami materi terutama dalam mata kuliah  Filsafat Islam, khususnya pembahasan mengenai pemikiran Al-Kindi dan Al-farabi tentang Ketuhanan, Alam, dan Manusia/Jiwa.
Segala upaya telah dilakukan demi tersusunnya makalah ini. Namun kami menyadari sesungguhnya makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran setelah penampilan kami nanti yang dapat kami jadikan masukan untuk penyusunan makalah yang selanjutnya.

      PEMBAHASAN
       I.               1.  PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI  DAN AL-FARABI
                 1. PEMIKIRAN FILSAFAT  AL-KINDI (180-260 H/796-873M)
          A. Tuhan dan Alam
Sebagaimana telah dikemukakan, aktivitas paling mulia dari Manusia adalah aktivitas mencari dan mengamalkan kebenaran, yakni berfalsafat, dan falsafat yang paling utama adalah falsafat pertama, yang tidak lain dari upaya untuk mengetahui sebab pertama, yakni  Tuhan. Salah satu Argumen untuk menunjukkan adanya tuhan, sebagaimana yang dimajukannya, berawal dari upayanya untuk menunjukkan bahwa Alam Semesta ini mustahil tidak terbatas, baik dari segi  besarnya maupun segi waktunya.
Sekiranya  Alam ini memiliki besar tak terbatas, lalu Alam ini dibagi dua, maka muncul pertanyaan tentang berapa besarnya bagian masing-masing. Bagian haruslah lebih kecil dari keseluruhan,  jadi haruslah bagian pertama terbatas  dan bagian kedua juga terbatas.  Bila kedua bagian itu dijumlahkan (disatukan) lagi, maka bagian terbatas ditambah bagian terbatas, jumlahnya juga terbatas, padahal semula telah diandaikan seluruh alam ini terbatas. Bila setiap bagiannya tidak terbatas, maka itu juga Mustahil karena bagian tidak mungkin sama besarnya dengan keseluruhan. Jadi haruslah Alam semesta ini terbatas. Demikian pula dengan zaman bagi Alam. Seandainya zaman alam ini tidak terbatas, baik dimasa lalu maupun kemudian, lalu zaman itu dipenggal dua pada titik sekarang, berapa lamanya penggalan masing-masing ? bila dijawab penggalan ini terbatas, maka gabungan kedua penggalan itu kembali menjadi terbatas (yang terbatas tambah dengan yang terbatas, hasilnya terbatas juga). Bila setiap penggalan dari keduanya tidak terbatas, maka itu berarti bagian selama-lamanya dengan keseluruhan dan itu Mustahil. Jadi , haruslah alam semesta ini selain terbatas besarnya juga terbatas zamannya dan yang akhir berarti bahwa alam pernah tidak ada, kemudian ada, dan disuatu saat kelak akan tidak ada pula. Setelah merasa berhasil  membuktikan secara Logika matematis bahwa alam itu terbatas dan bahwa alam itu pernah tidak ada, maka Al-kindi melanjutkan Argumennya bahwa tentulah ada pencipta alam ini dari tidak ada menjadi ada, dan pencipta itulah tuhan.[1]
Argumen lain yang dikemukakan Al-kindi dapat dirangkum sebagai berikut. Sebenarnya fenomene-fenomena empirik cukup jelas menunjukkan adanya pengaturan oleh pengatur awal yakni pengatur bagi setiap pengatur, pelaku bagi setiap pelaku,  pengada bagi setiap pengada, yang awal bagi setiap yang awal, dan sebab bagi setiap sebab. Kenyataan demikian hanya dapat diinsafi oleh orang yang alat indrawinya disinari oleh akalnya, tujuan dan sandarannya adalah kebenaran, dan menjadikan akal sebagai penilai disisinya pada setiap konflik dalam batinnya. Siapa yang berkeadaan demikian, kata Al-kindi, Niscaya akan terang baginya Allah yang Maha Terpuji itu adalah esensi kebenaran,  yang senantiasa ada, tidak pernah tidak ada, dan tidak akan pernah menjadi tidak ada. Kata Al-kindi, sesungguhnya ketertiban alam ini, baik susunannya, interaksinya, kaitan antara bagian dengan bagiannya, tunduknya suatu bagian pada bagian yang lain, dan kekokohan strukturnya diatas landasan prinsip yang terbaik bagi proses menyatu, bercerai-cerai, muncul, dan lenyapnya sesuatu dalam alam ini, semuanya adalah indikasi terbesar yang menunjukkan adanya pengaturan yang mantap dan kebijaksanaan yang kokoh, dan dengan demikian tentulah ada pengatur yang Bijaksana, yaitu Tuhan.[2]
Tuhan menurut Al-kindi, adalah yang Maha Esa dalam arti sesungguhnya, sedangkan Esa-esa yang lain yang terdapat dalam alam, hanyalah dalam arti majazi/metaporis. keEsaan Tuhan tidak mengandung kejamakan, sedangkan Esa-esa  yang lain tidak sunyi dari kejamakn itu. Bila tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat, yaitu hakikat  (individual, dan ini disebut aniyyah) dan hakikat Kulli (umum, dan ini disebutnya mahiyyah) yaitu hakikat yang bersifat Universal  dalam bentuk jenis (Gemus) dan macam (spesies), maka kata Al-kindi, tidaklah demikian Tuhan. Tuhan tidak memiliki hakikat dalam arti aniyyah dan Mahiyyah. Ia tidak mempunyai aniyyah karena ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, dan tidak memiliki mahiyyah karena ia tidak merupakan  jenis dan macam. Dalam menegakkan paham keEsaan Tuhan, Al-kindi memustahilkan paham keTuhanan Trinitas (tiga persona Tuhan yang Maha Esa). Tidak mungkin katanya, Tuhan yang Maha Esa memiliki tiga persona: Bapak, Anak dan Roh kudus karena itu berarti bahwa ketiga persona yang abadi itu tersusun dari suatu esensi yang umum bagi ketiga persona itu, dan sifat khusus bagi setiap persona. Apa yang tersusun tidaklah abadi dan dengan demikian kata Al-kindi, Mustahil Tuhan itu Trinitas.
                B.     KEMANUSIAAN / JIWA
Jiwa dipandang inti sari dari manusia dan filosof-filosof Islam banyak memperbincangkan hal ini, apalagi karena ayat-ayat Qur’an atau Hadits Nabi tidak menjelaskan hakekat roh itu. Bahkan menurut Suggesti yang ada dalam Qur’an, manusia tidak akan mengetahui hakekat roh. Roh adalah urusan Tuhan dan bukan urusan manusia. Tetapi sungguhpun demikian filosof-filosof Islam membahas soal ini berdasarkan pada Falsafat tentang roh yang mereka jumpai dalam Falsafat Yunani.
Menurut Al-kindi Roh tidak tersusun (simple, sederhana) tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi berasal dari substansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan Matahari.
Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Argumen yang dimajukan Al-kindi tentang perlainan roh dari badan ialah keadaan badan mempunyai Hawa nafsu (carnal desire) dan sifat pemarah (passion). Roh menentang keinginan hawa nafsu dan passion, sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama, tetapi berlainan dari yang dilarang.
Dengan perantaraan rohlah manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Ada dua macam pengetahuan : pengetahuan pancaindra dan pengetahuan Akal. Pengetahuan pancaindra hanya mengenai  yang lahir-lahir saja. Dalam hal ini manusia dan binatang sama. Pengetahuan akal merupakan hakekat-hakekat dan hanya dapat diperoleh oleh manusia tetapi dengan syarat ia harus melepaskan dirinya dari sifat binatang yang ada dalam tubuhnya. Melepaskan diri dari sifat ini ialah dengan meniggalkan dunia dan berfikir serta berkontemplasi tentang wujud. Dengan lain kata seseorang harus bersifat zahid. Kalau roh telah dapat telah dapat meninggalkan keinginan-keinginan badan. Bersih dari segala noda kematerian, dan senantiasa berfikir tentang hakekat-hakekat wujud, dia akan menjadi suci dan di ketika itu akan dapatlah menangkap gambaran segala hakekat-hakekat, tak obahnya sebagai cermin yang dapat menangkap gambaran dan benda-benda yang ada di depannya. Pengetahuan dalam faham ini merupakan emanasi. Karena roh adalah cahaya dari Tuhan, roh dapat menagkap ilmu-ilmu yang ada pada Tuhan. Tetapi kalau roh kotor, maka sebagai halnya dengan cermin yang kotor, roh tak dapat menerima pengetahuan-pengetahuan di pancarkan oleh cahaya yang berasal dari Tuhan itu.
Roh bersifat kekal dan tidak hancur dengan hancurnya badan. Ia tidak hancur karena substansinya berasal dari Tuhan. Ia adalah cahaya yang di pancarkan Tuhan. Selama dalam badan, roh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuan tidak sempurna. hanya setelah bercerai dengan badan roh memperoleh kesenangan sebetulnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. setelah bercerai dengan badan roh pergi ke alam kebanaran atau alam akal di atas bintang-bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan dekat dengan Tuhan  dan dapat melihat Tuhan. Di sinilah terletak kesenagan abadi dari roh.
Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan belum bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil membersihkan diri di sana, baru ia pindah ke Merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga ia akhirnya, setelah benar-benar bersih, sampai ke alam akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.
Jiwa mempunyai 3 daya : daya bernafsu, daya pemarah, daya berfikir (appetative – irascible dan cognitive faculty)  daya berfikir itu disebut akal. Menurut Al-kindi ada tga macam akal : akal yang bersifat potensil, akal yang telah keluar dari sifat potensil menjadi aktuil dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas, yang dalam bahasa arab yang artinya:
Dalam keadaan aktuil nyata, ketika ia aktuil, akal yang kami sebut “yang kedua”
Akal yang bersifat potensil tak bisa mempunyai sifat aktuil jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi Al-kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bernama : akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal ini , karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang bersifat potensil dalam roh manusia menjadi aktuil.
Sifat-sifat akal ini:
1.         Ia merupakan akal pertama
2.         Ia selamanya dalam aktualitas.
3.         Ia merupakan species dan Genus.
4.         Ia membuat akal potensil menjadi aktuil berfikir.
Ia tidak sama dengan akal potensil tetapi lain dari padanya .
2.      FILSAFAT AL-FARABI (870-950M)
A.    SIFAT TUHAN
Dalam metafisikanya tentang keTuhanan Al-farabi hendak menunjukkan keEsaan tuhan dan ketunggalannya. Juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan zat (substansi) Tuhan. Sifat Tuhan tidak berbeda dari zat nya, karena Tuhan adalah tunggal. Tuhan benar-benar akal (pikiran)  murni, karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi akal (pikiran) dan berpikir adalah berada maka sesuatu itu berada. Kalau wujud sesuatu tidak membutuhkan benda maka sesuatu itu benar-benar akal (pikiran). Demikianlah keadaan Wujud yang pertama (Tuhan).
Juga zat Tuhan menjadi obyek pemikiran sendiri (ma’qul), karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi obyek pemikiran ialah benda itu pula. Jadi ia adalah obyek pemikiran, karena ia adalah akal pikiran. Ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain umtuk memikirkan Zatnya sendiri tetapi cukup dengan Zat-nya sendiri itu pula untuk menjadi obyek pikiran. Dengan demikian, maka Zat Tuhan yang satu itu juga adalah akal (pikiran), zat yang berpikir, dan zat yang dipikirkan (menjadi obyek pemikiran-nya), ia menjadi Aqal, aqil, dan ma’aul.
Tuhan juga adalah zat yang mengetahui (‘alim) tanpa memerlukan sesuatu yang lain untuk dapat mengetahui. Demikian pula Tuhan untuk dapat diketahui oleh Zat-nya sendiri (menjadi obyek ilmu-nya) juga tidak memerlukan sesutau lain yang mengetahuinya. Jadi Tuhan cukup dengan Zat-nya sendiri untuk mengetahui dan diketahui. Ilmu (pengetahuan) Tuhan terhadap dirinya tidak lain hanyalah Zat-nya itu sendiri juga. Dengan demikian, maka ilmu dan Zat yang mempunyai ilmu adalah satu juga. Atau dengan perkataan lain, ia adalah ilmu yang mengetahui dan menjadi obyek ilmu nya (al-ilmu, al-alim, dan al-ma’lum).
Jadi menurut Al-Farabi tidak ada perbedaan antara sifat Tuhan dengan Zat (substansi) Tuhan, sifat Tuhan yang berarti pula substansi Tuhan kesatuan antara sifat-sifat dan substansi Tuhan itu, sebenarnya untuk menjelaskan bahwa Tuhan itu benar-benar Esa, sebab bila dipisahkan antara sifat dan substansinya, akan menunjukkan bahwa Tuhan tidak Esa lagi. Tuhan sendiri adalah sebenarnya akal, sebab segala sesuatu yang tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Begitu pula dengan Wujud yang pertama (Tuhan). Zat (substansi) Tuhan yang satu itu adalah akal (pikiran). Akal adah zat (substansi) yang berpikir, tetapi sekaligus juga menjadi obyek pemikirannya. Jadi substansi Tuhan yang berupa itu menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri. Untuk menjelaskan bahwa substansi Tuhan itu sama dengan akal (pikiran) Al-farabi sebenarnya mengambil pendapat Aristoteles, bahwa Tuhan menurut Aristoteles adalah Akal yang berfikir, yang oleh Al-Farabi dikatakan sebagai akal murni.
Akal murni itu Esa adanya dengan arti bahwa dengan akal itu berisi satu pikiran saja, yakni senantiasa memikirkan dirinya sendiri. Jadi Tuhan itu adalah Akal yang aqil (berpikir) dan ma’bul (difikirkan).[3]
Tuhan juga Substansi yang Maha Mengetahui, untuk dapat mengetahui, tidak memerlukan sesuatu yang lain, juga untuk mengetahui substansinya tidak perlu diketahui oleh sesuatu yang lain. Jadi untuk dapat mengetahui dan diketahui, Tuhan terlepas dari sesuatu yang lain, cukup hanya dengan ilmunya yang merupakan substansinya. Penjelasan yang dikemukakan oleh Al-Farabi mengenai hal itu, untuk menunjukkan kesatuan antara substansi Tuhan dengan ilmu Tuhan. Al-Farabi berusaha keras dengan kemampuannya menjelaskan sifat-sifat Tuhan dengan mengkompromikan ajaran-ajaran Islam dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan Tuhan sebagai akal yang berfikir.
B.     PEMBUKTIAN ADANYA TUHAN
Dalam membuktikan adanya Tuhan ada beberapa Dalil yang dapat di gunakan sebagai Dalil ontologi dalil teleologi dan dalil kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut ( Ontologi, Teleologi, dan Kosmologi) untuk sampai kepada kesimpulan tentang adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh para pemikir Islam. Diantara dalil yang banyak dipakai adalah Dalil ciptaan atau dalil kosmologi menurut istilah Metofisika.
Dalil kosmologi melihat alam sebagai makhluk suatu akibat yang terakhir dalam rangkaian sebab dan akibat. Dengan melalui rentetan sebab akibat yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi dalam hal ini ada hubungannya sebagai sebab-sebab dan akibat-akibat pada akhirnya hubungan sebab akibat akan berhenti satu sebab yang pertama, karena pada dasarnya kita tidak dapat memikirkan adanya rentetan sebab akibat yang tidak berkesudahan (berkeputusan).
Selanjutnya, sebab pertama yang dicapai oleh rentetan sebab akibat itu dengan sendirinya bukan merupakan akibat. Jadi sebab pertama itu merupakan kesudahan dari rentetan hubungan sebab dan akibat. Al-Farabi dalam membuktikan adanya Tuhan menggunakan dalil penciptaan ini. Bertitik tolak dari kenyataan yang di sentuh dengan pancaindera (makhluk) untuk kemudian sampai kepada pangkal pertama atau dari wujud yang mungkin kepada wujud yang wajib.
Pangkal pertama dari wujud yang mungkin ini tidak dapat ditangkap dengan pancaindera. Jelasnya Al-Farabi menggunakan dalilnya atas dasar pemikiran mungkin dan wajib. Menurut Al-Farabi “setiap sesuatu yang ada pada dasarnya ada kemungkinan adanya” dan “ada pula wajib adanya”. Untuk memungkin adanya itu hendaklah ia mempunyai illat yang tampil mengutamakan adanya itu lalu memutuskan adanya dan kemudian mengadakannya ke alam wujud ini. Dan illat-illat ini tidaklah mungkin beredar dalam lingkungan yang tidak berakhir (vicious circle). Tetapi ia itu hendaklah berhenti pada satu titik “adanya” wajibul wujud “Allah” yang illat itu “tidak ada” dalam mewujudkannya.
Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan, pertama ada sebagai kemungkinan disebut Wujud yang Mungki, kedua ada sebagai keharusan disebut dengan Wujud yang Wajib. Dalam keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh ada yang lain, dan keadaan yang kedua adanya tanpa sesuatu yang lain atau ada dengan sendirinya sebagai keharusan.
Wujud  yang mungkin, adanya dapat disebabkan oleh wujud yang mungkin lainnya. Sebagai contoh suatu buah sebagai wujud yang mungkin buah itu merupakan akibat dari sebab perkawinan antara serbuk sari jantan dan serbuk sari betina yang ada pada pohon, pohon tersebut juga sebagai wujud yang mungkin dari sebab biji buah yang ditanam. Dari rentetan kejadian tersebut tidaklah mungkin terjadi perputaran yang melingkar atau rangkaian sebab akibat yang tanpa berkesudahan.[4]
Suatu rangkaian yang kejadian pada akhirnya akan berhenti pada suatu titik akhir yaitu berkesudahan pada Wujud yang wajib. Sebagai sebab pertama dari segala wujud yang mungkin. Wujud yang mungkin tidak mungkin di tentukan oleh sebab yang lain, wujud yang wajib itu berdiri sendiri, yang disebut dengan Tuhan (Allah).  Pembuktian dengan dalil kosmologi seperti yang dilakukan oleh Al-Farabi termasuk dalil sederhana mudah dimengerti, tetapi kelemahan dalil ini berpangkal dari suatu keyakinan yang mengharuskan adanya Tuhannya. Jadi merupakan peloncatan pikiran dari kesimpulan adanya sebab pertama atau wujud yang wajib harus diyakininya, bahwa sebab pertama itu adalah Tuhan.
C.     Penciptaan Alam Secara Emanasi
Berbeda dengan Al-kindi yang berpendapat bahwa Alam semesta ini diciptakan Tuhan dari tidak ada menjadi ada, Al-farabi cenderung memahami penciptaan alam oleh Tuhan melelui proses Emanisasi sejak zaman azali sehingga tergambar bahwa penciptaan alam oleh Tuhan bukan dari tidak ada menjadi ada. Menurut Al-Farabi, hanya Tuhan saja yang ada dengan sendirinya tanpa sebab dari luar dirinya, dan karena itu ia disebut wajib al-wujud li Dzatihi (yang mesti ada karena dirinya sendiri). Darinya memancar segenap alam ciptaannya, baik yang bersifat Rohani maupun yang bersifat jasmani. Segenap alam tidaklah ada dengan sendirinya, tapi ada karena sebab di ciptakan atau dipancarkan oleh Tuhan. Oleh karena itu Al-Farabi menyebut alam ini mumkin al wujud  li dzatih, wajib al-wujud li ghayrih (boleh ada dilihat dari dirinya, mesti ada karena sebab di luar dirinya). Pancaran (emanasi) alam dari Tuhan terjadi sebagai akibat aktivitas Tuhan memikirkan (berta’aqqul terhadap) dirinya. Aktivitas memikirkan itu menjadi sebab bagi pemancaran segenap alam ciptaannya, seperti pemancaran sinar dari Matahari.[5]
Berpegang pada konsep ilmiah masa lalu, Al-farabi memahami alam semesta yang bersifat fisik terdiri dari sembilan lapis lingkaran langit, dimana lingkaran suatu langit berada didalam lingkaran langit yang lebih besar (luas), sedang sedang Bumi ini berada di pusat ke sembilan lingkaran langit itu. Jadi ada 10 bagian alam semesta yang bersifat fisik, satu bumi dan sembilan langit. dari Al-qur’an, orang dimasa Al-farabi juga bisa memahami alam semesta yang bersifat fisik ini terdiri dari bumi, tujuh langit, kursi, dan Arasy, jumlahnya sepuluh bagian juga. Tuhan mengendalikan kesepuluh bagian alam itu, tidak langsung tapi melalui 10 akal. Kesepuluh akal itupun mengendalikan kesepuluh bagian alam itu melalui jiwa bagian alam masing-masing. Yang lansung mengendalikan masing-masing dari kesepuluh bagian alam itu adalah jiwa masing-masing.
Dengan mengembangkan teori emanasi Plotinus, Al-farabi menghasilkan teori emanasi, yang dapat diungkapkan sebagai berikut. Tuhan (yakni wujud I), karena memikirkan dirinya, memancarkan akal I (wujud II). Akal I, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal II (wujud III), dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan lingkaran langit pertama (al-sama’ al’ula), yakni langit terbesar/ terluas dan terjauh dari bumi. Akal II, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal III (wujud IV), dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan lingkaran langit kedua yang penuh dengan bintang-bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah). Akal III, karena memikirkan Tuhan, memancarkan Akal IV (wujud V), dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan lingkaran langit ketiga, tempat beradanya bola Saturnus (kurrat al-Zuhal). Akal IV, karena memikrkan Tuhan memancarkan akal V (wujud IV) , dan karena memikirkan dirinya sendiri. Memancarkan langit ke empat, tempat beradanya Bola Yupiter (kurrat al-Musytari). Akal V, karena memikirkan Tuhan memancarkan akal VI (wujud VII) dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan langit ke lima, tempat beradanya bola Mars (kurrat al-mirrikh). Akal VI, karena memikirkan Tuhan memancarkan akal VII (wujud VII), dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan langit ke enam, tempat beradanya bola matahari (kurrat al-syams). Akal VIII, karena memikrkan Tuhan, memancarkan akal VIII (wujud IX), dan karena memancarkan diri sendiri, memancarkan langit ke Tujuh, tempat beradanya bola Venus (kurrat al-zahrah). Akal VIII, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal IX dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan langit kedelapan, tempat beradanya bola Merkuri (kurrat al-‘Atharid). Akal IX karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal X, dan karena memikirkan dirinya sendiri,  memancarkan langit kesembilan, tempat beradanya bola Bulan (kurrat al-Qamar). Akal X, karena memikirkan Tuhan dan dirinya, hanya memancarkan bumi dan jiwa-jiwa yang berada di lingkungan Bumi.
Akal I sampai dengan akal X disebut juga oleh Al-farabi dengan sebutan al-asy-ya al-mufariqah (sesuatu terpisah dari materi, atau sesuatu yang imateri/rohani, yang pada hakikatnya adalah akal-akal dan sekaligus Ma’qulat (obyek-obyek pemikiran). Bagi Al-farabi, para Malaikat itu tidak lain dari akal yang sepuluh itu, sedang akal X, yang disebut juga Al-‘Aql al-Fa’al  (Akal aktif) adalah Jibril A.S.
D.    Tentang Kemanusiaan atau Jiwa
Al-Farabi berupaya membuat sintesa antara pandangan Plato dan pandangan Aristoteles, Al-Farabi menyatakan bahwa jiwa manusia adalah bentuk (Shurah/form) bagi tubuhnya, tapi tidak sekadar itu karena ia juga mengikuti Plato yang mengatakan bahwa jiwa manusia itu adalah substansi imateri yang tidak hancur dengan hancurnya badan. Berbeda dengan Plato, Al-farabi tidak mengakui pra eksistensi jiwa manusia. Bagi Al-farabi, jiwa manusia itu dipancarkan oleh akal X manakala suatau tubuh sudah siap untuk menerimanya. Ia juga mengingkari adanya reinkarnasi jiwa (perpindahan jiwa secara berulang-ulang dari satu tubuh kepada tubuh yang lain). Demikianlah pnadangan Al-farabi tentang jiwa manusia, tidak sepenuhnya mengikuti Plato dan juga tidak sepenuhnya mengikuti Aristoteles.
Mengenai potensi-potensi yang dimiliki oleh jiwa manusia, tampak bahwa Al-farabi mengikuti pandangan Aristoteles. Al-Farabi dalam salah satu bukunya menerangkan sebagai berikut. Bila telah tercipta seorang manusia, maka yang yang pertama mengaktual pada jiwanya adalah potensi makan (al-quwwah al-ghadziyah), kemudian potensi mengindra (al-quwwah al-hassah) untuk mengindra apa yang bisa diindra (panas, dingin, rasa makanan, bau, suara, dan lain-lain) dan bersamaan dengan itu mengaktual kecenderungan (al-nuzu’) untuk menyenangi dan membenci apa yang diindranya.Kemudian mengaktual potensi mengkhayal (al-quwwah al mutakhayyilah) untuk memelihara atau menyimpan gambar-gambar fenomena yang di hasilkan oleh pengindraan, menghimpun dan memisahkan satu bagian dengan bagian yang lain, sehingga terbentuk susunan-susunan atau klasifikasi-klasifikasi yang berbeda-beda, yang sebagian bisa benar bisa salah, dan bersamaan dengan itu juga mengaktual kecenderungan untuk senang atau benci pada apa yang dihasilkan aktualitas potensi mengkhayal itu. Selanjutnya mengaktual potensi berpikir  yang memungkinkan manusia untuk memikirkan atau menangkap apa-apa yang dapat ditangkap oleh akal, untuk membedakan yang baik dan yang buruk, dan untuk memajukan seni dan pengetahuan dan bersamaan dengan itu juga mengaktual kecenderungan senang atau benci pada apa-apa yang ditangkap oleh daya pikir (akal) itu.


     II.            PERBANDINGAN PEMIKIRAN  FILSAFAT AL-KINDI DAN AL-FARABI
Topik-topik filsafat Islam bersifat religius, dimulai dengan mengesakan Tuhan    dan menganalisa secara universal dan menukik keteori keTuhanan yang tak terdahului sebelumya. Seolah-olah menyaingi aliran kalamiah  Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang mengoreksi kekurangannya dan berkonsentrasi menggambarkan Allah Yang Maha Agung dalam pola yang berlandaskan tajrid (pengabstrakan), tanzih (penyucian), keesaan mutlak dan kesempurnaan total. Dari Yang Esa ber-emanasi segala sesuatu. Karena Ia pencipta, maka Ia mencipta dari bukan sesuatu, menciptakan alam sejak azali, mengatur dan menatanya. Karena alam merupakan akibat bagi-Nya, maka dalam wujud dan keabadian-Nya, maka Ia menciptakannya karena semata-mata anugerah-Nya.
Akal manusia juga merupakan salah satu potensi jiwa dan disebut rasional soul. Walaupun berciri khas religius-spiritual, tetapi tetap bertumpu pada akal dalam menafsirkan problematika ketuhanan, manusia dan alam, karena wajib al-wujud adalah akal murni. Ia adalah objek berpikir sekaligus obyek pemikiran.
Filsafat Islam memadukan antara sesama filosof. Memadukan berarti mendekatkan dan mengumpulkan dua sudut, dalam filsafat ada aspek-aspek yang tidak sesuai dengan agama. Sebaliknya sebagian dari teks agama ada yang tidak sejalan dengan sudut pandang filsafat. Para Filosuf Islam secara khusus konsentrasi mempelajari Plato dan Aristoteles. Untuk itu mereka menerjemahkan dialog-dialog penting Plato. Republik, hukum, Themaus, Sophis, Paidon, dan Apologia (pidato pembelaan Socrates).[6]
Saling take and give, karena dalam kajian-kajian filosof terdapat ilmu pengetahuan dan sejumlah problematika saintis, sebaliknya dalam saintis terdapat prinsip-prinsip dan teori-teori filosofis. Filosuf Islam menganggap ilmu-ilmu pengetahuan rasional sebagai bagian dari filsafat. Misalnya adalah buku As-Syifa’ milik Ibnu Sina yang merupakan Encyclopedia, Al-Qanun. Kemudian Al-Kindi mengkaji masalah-masalah matematis dan fisis. Al-Farabi mempunai kajian ilmu ukur dan mekanika.
Para Filosof Islam adalah ilmuwan, diantara mereka terdapat ilmuwan menonjol. Selain yang telah disebut di atas misalnya, Ibnu Bajah, Ibnu Thufayl, dan Ibnu Rusyd.
A.    AL KINDI
Hidup pada tahun 796-873 M pada masa khalifah al-Makmun, dan al- Mu’tashim. Al Kindi menganut aliran Muktazilah dan kemudian belajar filsafat. Menurut al Kindi filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan. Kata al Kindi : Falsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafat utama, yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab dari segala yang benar. Masih menurut al Kindi kebenaran ialah bersesuaian apa yang ada dalam akal dan yang ada di luar akal.
Dalam alam terdapat benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera. Benda-benda ini merupakan juz’iyat. Yang penting bagi filsafat bukan juz’iyat yang tak terhingga banyaknya, tetapi yang penting adalah hakikat yang terdapat dalam juz’iyat, yaitu kulliyat. Kemudian filsafatnya yang lain yaitu tentang jiwa atau roh
B.     AL FARABI
Al Farabi hidup tahun 870-950 M, dia meninggal dalam usia 80 tahun. Filsafatnya yang terkenal adalah teori emanasi (pancaran). Falsafatnya mengatakan bahwa yang banyak ini timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Satu tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha sempurna dan tidak berhajat apapun. Kalau demikian hakekat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha satu?[7]
Menurut al-Farabi alam terjadi dengan cara emanasi atau pancaran dari Tuhan yang berubah menjadi suatu maujud. Perubahan itu mulai dari akal pertama sampai akal kesepuluh. Kemudian dari akal kesepuluh muncullah berupa bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari empat unsur: api, udara, air, dan tanah. Pada falsafat kenabian dia mengatakan bahwa Nabi atau Rasul adalah pilihan, dan komunikasi dengan akal kesepuluh terjadi bukan atas usaha sendiri tetapi atas pemberian Tuhan.

   III.            KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN KEDUA TOKOH PADA PROBLEMATIKA SOSIAL KEAGAMAAN
A.     AL-KINDI
Menurut Al-Kindi, Agama dan filsafat tidak mungkin bertentangan. Agama di samping sebagai wahyu juga menggunakan akal, dan filsafat juga menggunakan akal. [dari penulis] Di dalam Al-Qur`an disebutkan, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda [āyāt] bagi kaum yang berakal; yaitu mereka yang ber-dzikir dalam keadaan berdiri dan duduk dan mereka yang ber-tafakkur dalam penciptaan langit dan bumi…” (Q.S. ). Yang benar pertama (Al-Haqq al-Awwal) adalah Tuhan. Dalam hal ini, filsafat juga membahas soal Tuhan dan Agama. Dan filsafat paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan (seperti filsafat skolastik). Bagi al-Kindi, orang yang menolak filsafat bisa dianggap kafir,  karena dia telah jauh dari kebenaran,  meskipun  dirinya  menganggap paling benar.
          Jika terjadi pertentangan antara nalar logika dengan dalil-dalil agama dalam al-Qur`an, mestinya ditempuh dengan jalan ta`wīl (interpretasi, kontekstualisasi, atau rasionalisasi atas teks-teks keagamaan). Hal ini karena dalam bahasa (termasuk bahaa Arab), terdapat dua makna: makna hakīkī (hakikat, esensi) dan makna majāzī  (figuratif, metafora).
          Namun demikian, menurut al-Kindi, memang terdapat perbedaan dari segi sumber data (informasi) antara agama dan filsafat. Agama diperoleh melalui wahyu tanpa proses belajar. Sedang filsafat diperoleh melalui proses belajar (berpikir dan berkontemplasi). Sedang dari segi pendekatan dan metode, agama dilakukan dengan pendekatan keimanan, sedang filsafat dilakukan dengan pendekatan logika.
          Al-Kindi juga menyinggung soal jiwa manusia. Menurutnya, jiwa tidak tersusun, substansinya adalah ruh yang berasal dari substansi Tuhan. Dalam hal jiwa, Al-Kindi lebih dekat dengan pandangan Plato yang mengatakan bahwa hubungan antara jiwa dan badan bercorak accidental (al-‘aradh). Al-Kindi berbeda dari Aristoteles yang berpendapat bahwa jiwa adalah form dari badan.
          Menurut al-Kindi, jiwa memiliki 3 daya :
                1) jiwa bernafsu (al-quwwah asy-syahwāniyyah).
                2) jiwa memarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah).
                3) jiwa berakal (al-quwwah al-‘āqilah).

          Selama ruh (jiwa) berada di badan, ia tidak akan menemukan kebahagiaan hakiki dan pengetahuan sempurna. Setelah bepisah dari badan dan dalam keadaan suci, ruh akan langsung pergi ke “alam kebenaran” atau “alam akal” di atas bintang-bintang, berada dilingkungan cahaya Tuhan dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan hakiki ruh. Namun jika ruh itu kotor, ia akan pergi terlebih dahulu ke bulan, lalu ke Merkuri, Mars, dan seterusnya hingga Pluto; kemudian terakhir akan menetap ke dalam “alam akal” di lingkungan cahaya Tuhan. Di sanalah jiwa akan kekal abadi di bawah cahaya Tuhan. Bagi yang berbuat durhaka dan kejahatan di dunia, jiwa (ruh) manusia akan jauh dari cahaya Tuhan sehingga dia akan sengsara. Bagi manusia yang berbuat kebajikan, jiwa (ruh) yang dikandungnya dahulu ketika di bumi, akan dekat dengan cahaya Tuhan dan akan hidup bahagia di sisi-Nya.
          Demikian sekilas tentang al-Kindi, filosof muslim pertama yang telah berjasa memberi tansformasi intelektual bagi umat Islam dan peradaban manusia. Semoga ringkasan ini bisa memberi ‘warna lain’ bagi pencerahan intelektual dan kedewasaan dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku.
B.     AL-FARABI
Meskipun Al-Farabi telah banyak mengambil dari Plato, Aristoteles dan Plotinus, namun ia tetap memegangi kepribadian, sehingga pikiran-pikiranya tersebut merupakan filsafat Islam yang berdiri sendiri, yang bukan filsafat stoa, atau Peripatetik atau Neo Platonisme. Memang bisa dikatakan adanya pengaruh aliran-aliran tersebut, namun bahannya yang pokok adalah dari Islam sendiri.
Al-Farabi adalah seorang filosof muslim dalam arti yang sebenarnya. Ia telah menciptakan sistem filsafat yang relatif lengkap, dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di dunia Islam. Ia menjadi anutan/guru dari filosof-filosof Islam sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi terkenal sebagai filosof sinkretismeyang mempercayai filsafat. Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran plato dan plotinus, juga antara agama dan filsafat. Usaha Al-Farabi diperluas lagi, bukan hanya mempertemukan aneka aliran filsafat yang bermacam-macam, tapi ia berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda-beda corak dan macamnya .
Menurutnya, tujuan filsafat itu memikirkan kebenaran, karena kebenaran itu hanya ada satu, tidak ada yang lain . Al-Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran . Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul Al-Jami’ Baina Ra’yani Al-Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran Plato dengan Aristoteles. Kendatipun begitu, Al-Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batin) . Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai (Peripaterik) filosof-keilmuan. Tidak heran jika ia mendapat gelar Al-Mu’alim Al-Tsani.
Al-Farabi adalah orang pertama yang memberikan uraian sistematik terhadaphirearki wujud dalam kerangka hirearki intelegensi dan jiwa serta pemancaran (faidh)-nya dari Tuhan. Al-Farabi membagi wujud menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah sebabnya.Pertama, wujud keberadaannya sama sekali tidak memiliki sebab. Al-Farabi menyebut wujud ini sebagai wujud pertama atau sebab pertama yang merupakan prinsip tertinggi eksistensi setiap wujud lainnya. Tentang prinsip tertinggi ini hanya terbatas pada pengetahuan tentang hal itu dan bukan prinsip-prinsip wujudnya. Kedua, wujud yang memiliki keempat sebabAristetolian: material, formal, efisien, dan final. Ketiga, wujud yang sepenuhnya immaterial - yang lain daripada wujud benda di dalam atau menempati benda-benda.
Al-farabi adalah  filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Platodan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama)









PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Tuhan menurut Al-kindi, adalah yang Maha Esa dalam arti sesungguhnya, sedangkan Esa-esa yang lain yang terdapat dalam alam, hanyalah dalam arti majazi/metaporis. keEsaan Tuhan tidak mengandung kejamakan, sedangkan Esa-esa  yang lain tidak sunyi dari kejamakn itu.
Menurut Al-kindi Roh tidak tersusun (simple, sederhana) tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi berasal dari substansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan Matahari.
Menurut Al-Farabi tidak ada perbedaan antara sifat Tuhan dengan Zat (substansi) Tuhan, sifat Tuhan yang berarti pula substansi Tuhan kesatuan antara sifat-sifat dan substansi Tuhan itu, sebenarnya untuk menjelaskan bahwa Tuhan itu benar-benar Esa, sebab bila dipisahkan antara sifat dan substansinya, akan menunjukkan bahwa Tuhan tidak Esa lagi. Tuhan sendiri adalah sebenarnya akal, sebab segala sesuatu yang tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Begitu pula dengan Wujud yang pertama (Tuhan). Zat (substansi) Tuhan yang satu itu adalah akal (pikiran). Akal adah zat (substansi) yang berpikir, tetapi sekaligus juga menjadi obyek pemikirannya. Jadi substansi Tuhan yang berupa itu menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri. Untuk menjelaskan bahwa substansi Tuhan itu sama dengan akal (pikiran) Al-farabi sebenarnya mengambil pendapat Aristoteles, bahwa Tuhan menurut Aristoteles adalah Akal yang berfikir, yang oleh Al-Farabi dikatakan sebagai akal murni.
B.     SARAN
Dalam pembuatan makalah ini, pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi tercapainya kesempurnaan makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi  dalam Islam, Padang : IAIN IB Press, 1999
Nasuton, Harun, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1995
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam, Jakarta;  PT Rajagrafindo persada, 2004.
Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1991






[1]  Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (padang, IAIN-IB Press, 1999.) hlm.36-37
[2]  Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (padang, IAIN-IB Press, 1999.) hlm.38-39

[3] Drs. Sidi Ghazalfa; hlm.34
[4] Drs.Sudarsono; Filsafat Islam; hlm.36-37
[5] Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta :  Bulan Bintang, 1995) hlm. 14
[6] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 115

[7] Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, (Sala: Ramadani, 1982), cet. II, hal. 8

Copyright @ 2013 Blog Muhammad Saidi .