PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI DAN AL-FARABI
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW. Kami pemakalah bersyukur kepada Allah
SWT yang telah memberikan Hidayah serta taufiqnya , sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas kuliah.
Makalah ini saya
susun dengan tujuan agar dapat digunakan untuk mempermudah proses perkuliahan
kita dan agar pembaca dapat memahami materi terutama dalam mata kuliah Filsafat Islam, khususnya pembahasan mengenai
pemikiran Al-Kindi dan Al-farabi tentang Ketuhanan, Alam, dan Manusia/Jiwa.
Segala upaya telah
dilakukan demi tersusunnya makalah ini. Namun kami menyadari sesungguhnya
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran setelah penampilan kami nanti yang dapat kami jadikan masukan
untuk penyusunan makalah yang selanjutnya.
PEMBAHASAN
I. 1. PEMIKIRAN
FILSAFAT AL-KINDI DAN AL-FARABI
1. PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI (180-260 H/796-873M)
A. Tuhan dan Alam
Sebagaimana telah dikemukakan, aktivitas paling mulia dari Manusia
adalah aktivitas mencari dan mengamalkan kebenaran, yakni berfalsafat, dan
falsafat yang paling utama adalah falsafat pertama, yang tidak lain dari upaya
untuk mengetahui sebab pertama, yakni
Tuhan. Salah satu Argumen untuk menunjukkan adanya tuhan, sebagaimana
yang dimajukannya, berawal dari upayanya untuk menunjukkan bahwa Alam Semesta
ini mustahil tidak terbatas, baik dari segi
besarnya maupun segi waktunya.
Sekiranya Alam ini memiliki
besar tak terbatas, lalu Alam ini dibagi dua, maka muncul pertanyaan tentang
berapa besarnya bagian masing-masing. Bagian haruslah lebih kecil dari
keseluruhan, jadi haruslah bagian
pertama terbatas dan bagian kedua juga
terbatas. Bila kedua bagian itu
dijumlahkan (disatukan) lagi, maka bagian terbatas ditambah bagian terbatas,
jumlahnya juga terbatas, padahal semula telah diandaikan seluruh alam ini
terbatas. Bila setiap bagiannya tidak terbatas, maka itu juga Mustahil karena
bagian tidak mungkin sama besarnya dengan keseluruhan. Jadi haruslah Alam
semesta ini terbatas. Demikian pula dengan zaman bagi Alam. Seandainya zaman
alam ini tidak terbatas, baik dimasa lalu maupun kemudian, lalu zaman itu
dipenggal dua pada titik sekarang, berapa lamanya penggalan masing-masing ?
bila dijawab penggalan ini terbatas, maka gabungan kedua penggalan itu kembali
menjadi terbatas (yang terbatas tambah dengan yang terbatas, hasilnya terbatas
juga). Bila setiap penggalan dari keduanya tidak terbatas, maka itu berarti bagian
selama-lamanya dengan keseluruhan dan itu Mustahil. Jadi , haruslah alam
semesta ini selain terbatas besarnya juga terbatas zamannya dan yang akhir
berarti bahwa alam pernah tidak ada, kemudian ada, dan disuatu saat kelak akan
tidak ada pula. Setelah merasa berhasil
membuktikan secara Logika matematis bahwa alam itu terbatas dan bahwa
alam itu pernah tidak ada, maka Al-kindi melanjutkan Argumennya bahwa tentulah
ada pencipta alam ini dari tidak ada menjadi ada, dan pencipta itulah tuhan.[1]
Argumen lain yang dikemukakan Al-kindi dapat dirangkum sebagai
berikut. Sebenarnya fenomene-fenomena empirik cukup jelas menunjukkan adanya
pengaturan oleh pengatur awal yakni pengatur bagi setiap pengatur, pelaku bagi
setiap pelaku, pengada bagi setiap
pengada, yang awal bagi setiap yang awal, dan sebab bagi setiap sebab.
Kenyataan demikian hanya dapat diinsafi oleh orang yang alat indrawinya
disinari oleh akalnya, tujuan dan sandarannya adalah kebenaran, dan menjadikan
akal sebagai penilai disisinya pada setiap konflik dalam batinnya. Siapa yang
berkeadaan demikian, kata Al-kindi, Niscaya akan terang baginya Allah yang Maha
Terpuji itu adalah esensi kebenaran,
yang senantiasa ada, tidak pernah tidak ada, dan tidak akan pernah menjadi
tidak ada. Kata Al-kindi, sesungguhnya ketertiban alam ini, baik susunannya,
interaksinya, kaitan antara bagian dengan bagiannya, tunduknya suatu bagian
pada bagian yang lain, dan kekokohan strukturnya diatas landasan prinsip yang
terbaik bagi proses menyatu, bercerai-cerai, muncul, dan lenyapnya sesuatu
dalam alam ini, semuanya adalah indikasi terbesar yang menunjukkan adanya
pengaturan yang mantap dan kebijaksanaan yang kokoh, dan dengan demikian
tentulah ada pengatur yang Bijaksana, yaitu Tuhan.[2]
Tuhan menurut Al-kindi, adalah yang Maha Esa dalam arti
sesungguhnya, sedangkan Esa-esa yang lain yang terdapat dalam alam, hanyalah
dalam arti majazi/metaporis. keEsaan Tuhan tidak mengandung kejamakan,
sedangkan Esa-esa yang lain tidak sunyi
dari kejamakn itu. Bila tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat, yaitu hakikat (individual, dan ini disebut aniyyah)
dan hakikat Kulli (umum, dan ini disebutnya mahiyyah) yaitu
hakikat yang bersifat Universal dalam
bentuk jenis (Gemus) dan macam (spesies), maka kata Al-kindi,
tidaklah demikian Tuhan. Tuhan tidak memiliki hakikat dalam arti aniyyah dan
Mahiyyah. Ia tidak mempunyai aniyyah karena ia tidak tersusun dari
materi dan bentuk, dan tidak memiliki mahiyyah karena ia tidak
merupakan jenis dan macam. Dalam
menegakkan paham keEsaan Tuhan, Al-kindi memustahilkan paham keTuhanan Trinitas
(tiga persona Tuhan yang Maha Esa). Tidak mungkin katanya, Tuhan yang Maha Esa
memiliki tiga persona: Bapak, Anak dan Roh kudus karena itu berarti bahwa
ketiga persona yang abadi itu tersusun dari suatu esensi yang umum bagi ketiga
persona itu, dan sifat khusus bagi setiap persona. Apa yang tersusun tidaklah
abadi dan dengan demikian kata Al-kindi, Mustahil Tuhan itu Trinitas.
B.
KEMANUSIAAN /
JIWA
Jiwa dipandang inti sari dari manusia dan filosof-filosof Islam
banyak memperbincangkan hal ini, apalagi karena ayat-ayat Qur’an atau Hadits
Nabi tidak menjelaskan hakekat roh itu. Bahkan menurut Suggesti yang ada dalam
Qur’an, manusia tidak akan mengetahui hakekat roh. Roh adalah urusan Tuhan dan
bukan urusan manusia. Tetapi sungguhpun demikian filosof-filosof Islam membahas
soal ini berdasarkan pada Falsafat tentang roh yang mereka jumpai dalam
Falsafat Yunani.
Menurut Al-kindi Roh tidak tersusun (simple, sederhana) tetapi
mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi berasal dari substansi
Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan Matahari.
Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Argumen
yang dimajukan Al-kindi tentang perlainan roh dari badan ialah keadaan badan
mempunyai Hawa nafsu (carnal desire) dan sifat pemarah (passion). Roh
menentang keinginan hawa nafsu dan passion, sudah jelas bahwa yang melarang
tidak sama, tetapi berlainan dari yang dilarang.
Dengan perantaraan rohlah manusia memperoleh pengetahuan yang
sebenarnya. Ada dua macam pengetahuan : pengetahuan pancaindra dan pengetahuan
Akal. Pengetahuan pancaindra hanya mengenai
yang lahir-lahir saja. Dalam hal ini manusia dan binatang sama.
Pengetahuan akal merupakan hakekat-hakekat dan hanya dapat diperoleh oleh
manusia tetapi dengan syarat ia harus melepaskan dirinya dari sifat binatang
yang ada dalam tubuhnya. Melepaskan diri dari sifat ini ialah dengan
meniggalkan dunia dan berfikir serta berkontemplasi tentang wujud. Dengan lain
kata seseorang harus bersifat zahid. Kalau roh telah dapat telah dapat
meninggalkan keinginan-keinginan badan. Bersih dari segala noda kematerian, dan
senantiasa berfikir tentang hakekat-hakekat wujud, dia akan menjadi suci dan di
ketika itu akan dapatlah menangkap gambaran segala hakekat-hakekat, tak obahnya
sebagai cermin yang dapat menangkap gambaran dan benda-benda yang ada di
depannya. Pengetahuan dalam faham ini merupakan emanasi. Karena roh adalah
cahaya dari Tuhan, roh dapat menagkap ilmu-ilmu yang ada pada Tuhan. Tetapi
kalau roh kotor, maka sebagai halnya dengan cermin yang kotor, roh tak dapat
menerima pengetahuan-pengetahuan di pancarkan oleh cahaya yang berasal dari
Tuhan itu.
Roh bersifat kekal dan tidak hancur dengan hancurnya badan. Ia
tidak hancur karena substansinya berasal dari Tuhan. Ia adalah cahaya yang di
pancarkan Tuhan. Selama dalam badan, roh tidak memperoleh kesenangan yang
sebenarnya dan pengetahuan tidak sempurna. hanya setelah bercerai dengan badan
roh memperoleh kesenangan sebetulnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna.
setelah bercerai dengan badan roh pergi ke alam kebanaran atau alam akal di
atas bintang-bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Di sinilah terletak
kesenagan abadi dari roh.
Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke alam
kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan belum bersih, pergi dahulu ke bulan.
Setelah berhasil membersihkan diri di sana, baru ia pindah ke Merkuri, dan
demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga ia akhirnya, setelah
benar-benar bersih, sampai ke alam akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan
melihat Tuhan.
Jiwa mempunyai 3 daya : daya bernafsu, daya pemarah, daya berfikir
(appetative – irascible dan cognitive faculty) daya berfikir itu disebut akal. Menurut
Al-kindi ada tga macam akal : akal yang bersifat potensil, akal yang telah
keluar dari sifat potensil menjadi aktuil dan akal yang telah mencapai tingkat
kedua dari aktualitas, yang dalam bahasa arab yang artinya:
Dalam keadaan aktuil nyata, ketika ia aktuil, akal yang kami sebut
“yang kedua”
Akal yang bersifat potensil tak bisa mempunyai sifat aktuil jika
tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi
Al-kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan
bernama : akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal ini , karena selamanya
dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang bersifat potensil dalam roh
manusia menjadi aktuil.
Sifat-sifat akal ini:
1.
Ia merupakan
akal pertama
2.
Ia selamanya
dalam aktualitas.
3.
Ia merupakan
species dan Genus.
4.
Ia membuat akal
potensil menjadi aktuil berfikir.
Ia tidak sama dengan akal potensil tetapi lain dari padanya .
2.
FILSAFAT AL-FARABI (870-950M)
A.
SIFAT TUHAN
Dalam
metafisikanya tentang keTuhanan Al-farabi hendak menunjukkan keEsaan tuhan dan
ketunggalannya. Juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan zat
(substansi) Tuhan. Sifat Tuhan tidak berbeda dari zat nya, karena Tuhan adalah
tunggal. Tuhan benar-benar akal (pikiran)
murni, karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi akal
(pikiran) dan berpikir adalah berada maka sesuatu itu berada. Kalau wujud
sesuatu tidak membutuhkan benda maka sesuatu itu benar-benar akal (pikiran).
Demikianlah keadaan Wujud yang pertama (Tuhan).
Juga zat Tuhan
menjadi obyek pemikiran sendiri (ma’qul), karena yang menghalang-halangi
sesuatu untuk menjadi obyek pemikiran ialah benda itu pula. Jadi ia adalah
obyek pemikiran, karena ia adalah akal pikiran. Ia tidak membutuhkan sesuatu
yang lain umtuk memikirkan Zatnya sendiri tetapi cukup dengan Zat-nya sendiri
itu pula untuk menjadi obyek pikiran. Dengan demikian, maka Zat Tuhan yang satu
itu juga adalah akal (pikiran), zat yang berpikir, dan zat yang dipikirkan
(menjadi obyek pemikiran-nya), ia menjadi Aqal, aqil, dan ma’aul.
Tuhan juga
adalah zat yang mengetahui (‘alim) tanpa memerlukan sesuatu yang lain untuk
dapat mengetahui. Demikian pula Tuhan untuk dapat diketahui oleh Zat-nya
sendiri (menjadi obyek ilmu-nya) juga tidak memerlukan sesutau lain yang
mengetahuinya. Jadi Tuhan cukup dengan Zat-nya sendiri untuk mengetahui dan
diketahui. Ilmu (pengetahuan) Tuhan terhadap dirinya tidak lain hanyalah
Zat-nya itu sendiri juga. Dengan demikian, maka ilmu dan Zat yang mempunyai
ilmu adalah satu juga. Atau dengan perkataan lain, ia adalah ilmu yang
mengetahui dan menjadi obyek ilmu nya (al-ilmu, al-alim, dan al-ma’lum).
Jadi menurut
Al-Farabi tidak ada perbedaan antara sifat Tuhan dengan Zat (substansi) Tuhan,
sifat Tuhan yang berarti pula substansi Tuhan kesatuan antara sifat-sifat dan
substansi Tuhan itu, sebenarnya untuk menjelaskan bahwa Tuhan itu benar-benar
Esa, sebab bila dipisahkan antara sifat dan substansinya, akan menunjukkan
bahwa Tuhan tidak Esa lagi. Tuhan sendiri adalah sebenarnya akal, sebab segala
sesuatu yang tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Begitu
pula dengan Wujud yang pertama (Tuhan). Zat (substansi) Tuhan yang satu itu
adalah akal (pikiran). Akal adah zat (substansi) yang berpikir, tetapi
sekaligus juga menjadi obyek pemikirannya. Jadi substansi Tuhan yang berupa itu
menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri. Untuk menjelaskan bahwa substansi Tuhan
itu sama dengan akal (pikiran) Al-farabi sebenarnya mengambil pendapat
Aristoteles, bahwa Tuhan menurut Aristoteles adalah Akal yang berfikir, yang
oleh Al-Farabi dikatakan sebagai akal murni.
Akal murni itu
Esa adanya dengan arti bahwa dengan akal itu berisi satu pikiran saja, yakni
senantiasa memikirkan dirinya sendiri. Jadi Tuhan itu adalah Akal yang aqil
(berpikir) dan ma’bul (difikirkan).[3]
Tuhan juga
Substansi yang Maha Mengetahui, untuk dapat mengetahui, tidak memerlukan
sesuatu yang lain, juga untuk mengetahui substansinya tidak perlu diketahui
oleh sesuatu yang lain. Jadi untuk dapat mengetahui dan diketahui, Tuhan
terlepas dari sesuatu yang lain, cukup hanya dengan ilmunya yang merupakan
substansinya. Penjelasan yang dikemukakan oleh Al-Farabi mengenai hal itu,
untuk menunjukkan kesatuan antara substansi Tuhan dengan ilmu Tuhan. Al-Farabi
berusaha keras dengan kemampuannya menjelaskan sifat-sifat Tuhan dengan
mengkompromikan ajaran-ajaran Islam dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan
Tuhan sebagai akal yang berfikir.
B.
PEMBUKTIAN ADANYA TUHAN
Dalam
membuktikan adanya Tuhan ada beberapa Dalil yang dapat di gunakan sebagai Dalil
ontologi dalil teleologi dan dalil kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan
dalil-dalil tersebut ( Ontologi, Teleologi, dan Kosmologi) untuk sampai kepada
kesimpulan tentang adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh para pemikir
Islam. Diantara dalil yang banyak dipakai adalah Dalil ciptaan atau dalil
kosmologi menurut istilah Metofisika.
Dalil kosmologi
melihat alam sebagai makhluk suatu akibat yang terakhir dalam rangkaian sebab
dan akibat. Dengan melalui rentetan sebab akibat yang berdiri sendiri-sendiri,
tetapi dalam hal ini ada hubungannya sebagai sebab-sebab dan akibat-akibat pada
akhirnya hubungan sebab akibat akan berhenti satu sebab yang pertama, karena
pada dasarnya kita tidak dapat memikirkan adanya rentetan sebab akibat yang
tidak berkesudahan (berkeputusan).
Selanjutnya,
sebab pertama yang dicapai oleh rentetan sebab akibat itu dengan sendirinya
bukan merupakan akibat. Jadi sebab pertama itu merupakan kesudahan dari
rentetan hubungan sebab dan akibat. Al-Farabi dalam membuktikan adanya Tuhan
menggunakan dalil penciptaan ini. Bertitik tolak dari kenyataan yang di sentuh
dengan pancaindera (makhluk) untuk kemudian sampai kepada pangkal pertama atau
dari wujud yang mungkin kepada wujud yang wajib.
Pangkal pertama
dari wujud yang mungkin ini tidak dapat ditangkap dengan pancaindera. Jelasnya
Al-Farabi menggunakan dalilnya atas dasar pemikiran mungkin dan wajib. Menurut
Al-Farabi “setiap sesuatu yang ada pada dasarnya ada kemungkinan adanya” dan
“ada pula wajib adanya”. Untuk memungkin adanya itu hendaklah ia mempunyai
illat yang tampil mengutamakan adanya itu lalu memutuskan adanya dan kemudian
mengadakannya ke alam wujud ini. Dan illat-illat ini tidaklah mungkin beredar
dalam lingkungan yang tidak berakhir (vicious circle). Tetapi ia itu
hendaklah berhenti pada satu titik “adanya” wajibul wujud “Allah” yang illat
itu “tidak ada” dalam mewujudkannya.
Segala sesuatu
yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan, pertama ada sebagai
kemungkinan disebut Wujud yang Mungki, kedua ada sebagai keharusan
disebut dengan Wujud yang Wajib. Dalam keadaan yang pertama adanya
ditentukan oleh ada yang lain, dan keadaan yang kedua adanya tanpa sesuatu yang
lain atau ada dengan sendirinya sebagai keharusan.
Wujud yang mungkin, adanya dapat disebabkan oleh wujud yang mungkin lainnya. Sebagai
contoh suatu buah sebagai wujud yang mungkin buah itu merupakan akibat dari
sebab perkawinan antara serbuk sari jantan dan serbuk sari betina yang ada pada
pohon, pohon tersebut juga sebagai wujud yang mungkin dari sebab biji buah yang
ditanam. Dari rentetan kejadian tersebut tidaklah mungkin terjadi perputaran
yang melingkar atau rangkaian sebab akibat yang tanpa berkesudahan.[4]
Suatu rangkaian
yang kejadian pada akhirnya akan berhenti pada suatu titik akhir yaitu
berkesudahan pada Wujud yang wajib. Sebagai sebab pertama dari segala wujud
yang mungkin. Wujud yang mungkin tidak mungkin di tentukan oleh sebab yang
lain, wujud yang wajib itu berdiri sendiri, yang disebut dengan Tuhan
(Allah). Pembuktian dengan dalil
kosmologi seperti yang dilakukan oleh Al-Farabi termasuk dalil sederhana mudah
dimengerti, tetapi kelemahan dalil ini berpangkal dari suatu keyakinan yang
mengharuskan adanya Tuhannya. Jadi merupakan peloncatan pikiran dari kesimpulan
adanya sebab pertama atau wujud yang wajib harus diyakininya, bahwa sebab
pertama itu adalah Tuhan.
C.
Penciptaan Alam Secara Emanasi
Berbeda dengan
Al-kindi yang berpendapat bahwa Alam semesta ini diciptakan Tuhan dari tidak
ada menjadi ada, Al-farabi cenderung memahami penciptaan alam oleh Tuhan
melelui proses Emanisasi sejak zaman azali sehingga tergambar bahwa penciptaan
alam oleh Tuhan bukan dari tidak ada menjadi ada. Menurut Al-Farabi, hanya
Tuhan saja yang ada dengan sendirinya tanpa sebab dari luar dirinya, dan karena
itu ia disebut wajib al-wujud li Dzatihi (yang mesti ada karena dirinya
sendiri). Darinya memancar segenap alam ciptaannya, baik yang bersifat Rohani
maupun yang bersifat jasmani. Segenap alam tidaklah ada dengan sendirinya, tapi
ada karena sebab di ciptakan atau dipancarkan oleh Tuhan. Oleh karena itu
Al-Farabi menyebut alam ini mumkin al wujud li dzatih, wajib al-wujud li ghayrih (boleh
ada dilihat dari dirinya, mesti ada karena sebab di luar dirinya). Pancaran
(emanasi) alam dari Tuhan terjadi sebagai akibat aktivitas Tuhan memikirkan
(berta’aqqul terhadap) dirinya. Aktivitas memikirkan itu menjadi sebab
bagi pemancaran segenap alam ciptaannya, seperti pemancaran sinar dari
Matahari.[5]
Berpegang pada
konsep ilmiah masa lalu, Al-farabi memahami alam semesta yang bersifat fisik
terdiri dari sembilan lapis lingkaran langit, dimana lingkaran suatu langit
berada didalam lingkaran langit yang lebih besar (luas), sedang sedang Bumi ini
berada di pusat ke sembilan lingkaran langit itu. Jadi ada 10 bagian alam
semesta yang bersifat fisik, satu bumi dan sembilan langit. dari Al-qur’an,
orang dimasa Al-farabi juga bisa memahami alam semesta yang bersifat fisik ini
terdiri dari bumi, tujuh langit, kursi, dan Arasy, jumlahnya sepuluh bagian
juga. Tuhan mengendalikan kesepuluh bagian alam itu, tidak langsung tapi
melalui 10 akal. Kesepuluh akal itupun mengendalikan kesepuluh bagian alam itu
melalui jiwa bagian alam masing-masing. Yang lansung mengendalikan
masing-masing dari kesepuluh bagian alam itu adalah jiwa masing-masing.
Dengan
mengembangkan teori emanasi Plotinus, Al-farabi menghasilkan teori emanasi,
yang dapat diungkapkan sebagai berikut. Tuhan (yakni wujud I), karena
memikirkan dirinya, memancarkan akal I (wujud II). Akal I, karena memikirkan
Tuhan, memancarkan akal II (wujud III), dan karena memikirkan dirinya sendiri,
memancarkan lingkaran langit pertama (al-sama’ al’ula), yakni langit
terbesar/ terluas dan terjauh dari bumi. Akal II, karena memikirkan Tuhan,
memancarkan akal III (wujud IV), dan karena memikirkan dirinya sendiri,
memancarkan lingkaran langit kedua yang penuh dengan bintang-bintang tetap (al-kawakib
al-tsabitah). Akal III, karena memikirkan Tuhan, memancarkan Akal IV (wujud
V), dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan lingkaran langit ketiga,
tempat beradanya bola Saturnus (kurrat al-Zuhal). Akal IV, karena
memikrkan Tuhan memancarkan akal V (wujud IV) , dan karena memikirkan dirinya
sendiri. Memancarkan langit ke empat, tempat beradanya Bola Yupiter (kurrat
al-Musytari). Akal V, karena memikirkan Tuhan memancarkan akal VI (wujud
VII) dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan langit ke lima, tempat
beradanya bola Mars (kurrat al-mirrikh). Akal VI, karena memikirkan
Tuhan memancarkan akal VII (wujud VII), dan karena memikirkan dirinya sendiri,
memancarkan langit ke enam, tempat beradanya bola matahari (kurrat
al-syams). Akal VIII, karena memikrkan Tuhan, memancarkan akal VIII (wujud
IX), dan karena memancarkan diri sendiri, memancarkan langit ke Tujuh, tempat
beradanya bola Venus (kurrat al-zahrah). Akal VIII, karena memikirkan
Tuhan, memancarkan akal IX dan karena memikirkan dirinya sendiri, memancarkan
langit kedelapan, tempat beradanya bola Merkuri (kurrat al-‘Atharid).
Akal IX karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal X, dan karena memikirkan
dirinya sendiri, memancarkan langit
kesembilan, tempat beradanya bola Bulan (kurrat al-Qamar). Akal
X, karena memikirkan Tuhan dan dirinya, hanya memancarkan bumi dan jiwa-jiwa
yang berada di lingkungan Bumi.
Akal I sampai
dengan akal X disebut juga oleh Al-farabi dengan sebutan al-asy-ya
al-mufariqah (sesuatu terpisah dari materi, atau sesuatu yang
imateri/rohani, yang pada hakikatnya adalah akal-akal dan sekaligus Ma’qulat
(obyek-obyek pemikiran). Bagi Al-farabi, para Malaikat itu tidak lain dari akal
yang sepuluh itu, sedang akal X, yang disebut juga Al-‘Aql al-Fa’al (Akal aktif) adalah Jibril A.S.
D.
Tentang Kemanusiaan atau Jiwa
Al-Farabi
berupaya membuat sintesa antara pandangan Plato dan pandangan Aristoteles,
Al-Farabi menyatakan bahwa jiwa manusia adalah bentuk (Shurah/form) bagi
tubuhnya, tapi tidak sekadar itu karena ia juga mengikuti Plato yang mengatakan
bahwa jiwa manusia itu adalah substansi imateri yang tidak hancur dengan
hancurnya badan. Berbeda dengan Plato, Al-farabi tidak mengakui pra eksistensi
jiwa manusia. Bagi Al-farabi, jiwa manusia itu dipancarkan oleh akal X manakala
suatau tubuh sudah siap untuk menerimanya. Ia juga mengingkari adanya
reinkarnasi jiwa (perpindahan jiwa secara berulang-ulang dari satu tubuh kepada
tubuh yang lain). Demikianlah pnadangan Al-farabi tentang jiwa manusia, tidak
sepenuhnya mengikuti Plato dan juga tidak sepenuhnya mengikuti Aristoteles.
Mengenai
potensi-potensi yang dimiliki oleh jiwa manusia, tampak bahwa Al-farabi
mengikuti pandangan Aristoteles. Al-Farabi dalam salah satu bukunya menerangkan
sebagai berikut. Bila telah tercipta seorang manusia, maka yang yang pertama
mengaktual pada jiwanya adalah potensi makan (al-quwwah al-ghadziyah),
kemudian potensi mengindra (al-quwwah al-hassah) untuk mengindra apa
yang bisa diindra (panas, dingin, rasa makanan, bau, suara, dan lain-lain) dan
bersamaan dengan itu mengaktual kecenderungan (al-nuzu’) untuk
menyenangi dan membenci apa yang diindranya.Kemudian mengaktual potensi
mengkhayal (al-quwwah al mutakhayyilah) untuk memelihara atau menyimpan
gambar-gambar fenomena yang di hasilkan oleh pengindraan, menghimpun dan
memisahkan satu bagian dengan bagian yang lain, sehingga terbentuk
susunan-susunan atau klasifikasi-klasifikasi yang berbeda-beda, yang sebagian
bisa benar bisa salah, dan bersamaan dengan itu juga mengaktual kecenderungan
untuk senang atau benci pada apa yang dihasilkan aktualitas potensi mengkhayal
itu. Selanjutnya mengaktual potensi berpikir
yang memungkinkan manusia untuk memikirkan atau menangkap apa-apa yang
dapat ditangkap oleh akal, untuk membedakan yang baik dan yang buruk, dan untuk
memajukan seni dan pengetahuan dan bersamaan dengan itu juga mengaktual
kecenderungan senang atau benci pada apa-apa yang ditangkap oleh daya pikir
(akal) itu.
II.
PERBANDINGAN
PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI DAN
AL-FARABI
Topik-topik filsafat Islam bersifat religius, dimulai dengan mengesakan Tuhan dan menganalisa secara universal dan menukik keteori keTuhanan yang tak terdahului
sebelumya. Seolah-olah menyaingi aliran kalamiah Mu’tazilah
dan Asy’ariyah yang mengoreksi kekurangannya dan berkonsentrasi menggambarkan
Allah Yang Maha Agung dalam pola yang berlandaskan tajrid (pengabstrakan), tanzih (penyucian),
keesaan mutlak dan kesempurnaan total. Dari Yang Esa ber-emanasi segala
sesuatu. Karena Ia pencipta, maka Ia mencipta dari bukan sesuatu, menciptakan
alam sejak azali, mengatur dan menatanya. Karena alam merupakan akibat
bagi-Nya, maka dalam wujud dan keabadian-Nya, maka Ia menciptakannya karena
semata-mata anugerah-Nya.
Akal manusia juga
merupakan salah satu potensi jiwa dan disebut rasional soul. Walaupun
berciri khas religius-spiritual, tetapi tetap bertumpu pada akal dalam
menafsirkan problematika ketuhanan, manusia dan alam, karena wajib
al-wujud adalah akal murni. Ia adalah objek berpikir sekaligus obyek
pemikiran.
Filsafat Islam
memadukan antara sesama filosof. Memadukan berarti mendekatkan dan mengumpulkan
dua sudut, dalam filsafat ada aspek-aspek yang tidak sesuai dengan agama.
Sebaliknya sebagian dari teks agama ada yang tidak sejalan dengan sudut pandang
filsafat. Para Filosuf Islam secara khusus konsentrasi mempelajari Plato dan
Aristoteles. Untuk itu mereka menerjemahkan dialog-dialog penting Plato. Republik,
hukum, Themaus, Sophis, Paidon, dan Apologia (pidato pembelaan Socrates).[6]
Saling take
and give, karena dalam kajian-kajian filosof terdapat ilmu pengetahuan
dan sejumlah problematika saintis, sebaliknya dalam saintis terdapat
prinsip-prinsip dan teori-teori filosofis. Filosuf Islam menganggap ilmu-ilmu
pengetahuan rasional sebagai bagian dari filsafat. Misalnya adalah buku As-Syifa’ milik
Ibnu Sina yang merupakan Encyclopedia, Al-Qanun. Kemudian Al-Kindi
mengkaji masalah-masalah matematis dan fisis. Al-Farabi mempunai kajian ilmu
ukur dan mekanika.
Para Filosof Islam adalah
ilmuwan, diantara mereka terdapat ilmuwan menonjol. Selain yang telah disebut
di atas misalnya, Ibnu Bajah, Ibnu Thufayl, dan Ibnu Rusyd.
A.
AL KINDI
Hidup pada tahun
796-873 M pada masa khalifah al-Makmun, dan al- Mu’tashim. Al Kindi menganut
aliran Muktazilah dan kemudian belajar filsafat. Menurut al Kindi filsafat yang
paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan. Kata al Kindi : Falsafat yang
termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafat utama, yaitu ilmu tentang
Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab dari segala yang benar. Masih menurut al
Kindi kebenaran ialah bersesuaian apa yang ada dalam akal dan yang ada di luar
akal.
Dalam alam terdapat
benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera. Benda-benda ini
merupakan juz’iyat. Yang penting bagi filsafat bukan juz’iyat yang
tak terhingga banyaknya, tetapi yang penting adalah hakikat yang terdapat
dalam juz’iyat, yaitu kulliyat. Kemudian filsafatnya yang lain yaitu tentang jiwa atau roh
B.
AL FARABI
Al Farabi hidup tahun
870-950 M, dia meninggal dalam usia 80 tahun. Filsafatnya yang terkenal adalah
teori emanasi (pancaran). Falsafatnya mengatakan bahwa yang
banyak ini timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Satu tidak berubah, jauh
dari materi, jauh dari arti banyak, Maha sempurna dan tidak berhajat apapun.
Kalau demikian hakekat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang
banyak ini dari yang Maha satu?[7]
Menurut al-Farabi alam
terjadi dengan cara emanasi atau pancaran dari Tuhan yang
berubah menjadi suatu maujud. Perubahan itu mulai dari akal pertama
sampai akal kesepuluh. Kemudian dari akal kesepuluh muncullah berupa bumi serta
roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari empat unsur: api, udara,
air, dan tanah. Pada falsafat kenabian dia mengatakan bahwa Nabi atau Rasul
adalah pilihan, dan komunikasi dengan akal kesepuluh terjadi bukan atas usaha
sendiri tetapi atas pemberian Tuhan.
III.
KONTEKSTUALISASI
PEMIKIRAN KEDUA TOKOH PADA PROBLEMATIKA SOSIAL KEAGAMAAN
A.
AL-KINDI
Menurut Al-Kindi, Agama
dan filsafat tidak mungkin bertentangan. Agama di samping sebagai wahyu juga
menggunakan akal, dan filsafat juga menggunakan akal. [dari penulis] Di dalam Al-Qur`an
disebutkan, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian
malam dan siang, terdapat tanda-tanda [āyāt] bagi kaum yang berakal; yaitu
mereka yang ber-dzikir dalam keadaan berdiri dan duduk dan mereka yang
ber-tafakkur dalam penciptaan langit dan bumi…” (Q.S. ). Yang benar pertama (Al-Haqq
al-Awwal) adalah Tuhan. Dalam hal ini, filsafat juga membahas soal
Tuhan dan Agama. Dan filsafat paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan
(seperti filsafat skolastik). Bagi al-Kindi, orang yang menolak filsafat bisa
dianggap kafir, karena dia telah jauh dari kebenaran,
meskipun dirinya menganggap paling benar.
Jika terjadi pertentangan antara nalar logika dengan dalil-dalil agama dalam al-Qur`an, mestinya ditempuh dengan jalan ta`wīl (interpretasi, kontekstualisasi, atau rasionalisasi atas teks-teks keagamaan). Hal ini karena dalam bahasa (termasuk bahaa Arab), terdapat dua makna: makna hakīkī (hakikat, esensi) dan makna majāzī (figuratif, metafora).
Namun demikian, menurut al-Kindi, memang terdapat perbedaan dari segi sumber data (informasi) antara agama dan filsafat. Agama diperoleh melalui wahyu tanpa proses belajar. Sedang filsafat diperoleh melalui proses belajar (berpikir dan berkontemplasi). Sedang dari segi pendekatan dan metode, agama dilakukan dengan pendekatan keimanan, sedang filsafat dilakukan dengan pendekatan logika.
Al-Kindi juga menyinggung soal jiwa manusia. Menurutnya, jiwa tidak tersusun, substansinya adalah ruh yang berasal dari substansi Tuhan. Dalam hal jiwa, Al-Kindi lebih dekat dengan pandangan Plato yang mengatakan bahwa hubungan antara jiwa dan badan bercorak accidental (al-‘aradh). Al-Kindi berbeda dari Aristoteles yang berpendapat bahwa jiwa adalah form dari badan.
Menurut al-Kindi, jiwa memiliki 3 daya :
1) jiwa bernafsu (al-quwwah asy-syahwāniyyah).
2) jiwa memarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah).
3) jiwa berakal (al-quwwah al-‘āqilah).
Selama ruh (jiwa) berada di badan, ia tidak akan menemukan kebahagiaan hakiki dan pengetahuan sempurna. Setelah bepisah dari badan dan dalam keadaan suci, ruh akan langsung pergi ke “alam kebenaran” atau “alam akal” di atas bintang-bintang, berada dilingkungan cahaya Tuhan dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan hakiki ruh. Namun jika ruh itu kotor, ia akan pergi terlebih dahulu ke bulan, lalu ke Merkuri, Mars, dan seterusnya hingga Pluto; kemudian terakhir akan menetap ke dalam “alam akal” di lingkungan cahaya Tuhan. Di sanalah jiwa akan kekal abadi di bawah cahaya Tuhan. Bagi yang berbuat durhaka dan kejahatan di dunia, jiwa (ruh) manusia akan jauh dari cahaya Tuhan sehingga dia akan sengsara. Bagi manusia yang berbuat kebajikan, jiwa (ruh) yang dikandungnya dahulu ketika di bumi, akan dekat dengan cahaya Tuhan dan akan hidup bahagia di sisi-Nya.
Demikian sekilas tentang al-Kindi, filosof muslim pertama yang telah berjasa memberi tansformasi intelektual bagi umat Islam dan peradaban manusia. Semoga ringkasan ini bisa memberi ‘warna lain’ bagi pencerahan intelektual dan kedewasaan dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku.
Jika terjadi pertentangan antara nalar logika dengan dalil-dalil agama dalam al-Qur`an, mestinya ditempuh dengan jalan ta`wīl (interpretasi, kontekstualisasi, atau rasionalisasi atas teks-teks keagamaan). Hal ini karena dalam bahasa (termasuk bahaa Arab), terdapat dua makna: makna hakīkī (hakikat, esensi) dan makna majāzī (figuratif, metafora).
Namun demikian, menurut al-Kindi, memang terdapat perbedaan dari segi sumber data (informasi) antara agama dan filsafat. Agama diperoleh melalui wahyu tanpa proses belajar. Sedang filsafat diperoleh melalui proses belajar (berpikir dan berkontemplasi). Sedang dari segi pendekatan dan metode, agama dilakukan dengan pendekatan keimanan, sedang filsafat dilakukan dengan pendekatan logika.
Al-Kindi juga menyinggung soal jiwa manusia. Menurutnya, jiwa tidak tersusun, substansinya adalah ruh yang berasal dari substansi Tuhan. Dalam hal jiwa, Al-Kindi lebih dekat dengan pandangan Plato yang mengatakan bahwa hubungan antara jiwa dan badan bercorak accidental (al-‘aradh). Al-Kindi berbeda dari Aristoteles yang berpendapat bahwa jiwa adalah form dari badan.
Menurut al-Kindi, jiwa memiliki 3 daya :
1) jiwa bernafsu (al-quwwah asy-syahwāniyyah).
2) jiwa memarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah).
3) jiwa berakal (al-quwwah al-‘āqilah).
Selama ruh (jiwa) berada di badan, ia tidak akan menemukan kebahagiaan hakiki dan pengetahuan sempurna. Setelah bepisah dari badan dan dalam keadaan suci, ruh akan langsung pergi ke “alam kebenaran” atau “alam akal” di atas bintang-bintang, berada dilingkungan cahaya Tuhan dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan hakiki ruh. Namun jika ruh itu kotor, ia akan pergi terlebih dahulu ke bulan, lalu ke Merkuri, Mars, dan seterusnya hingga Pluto; kemudian terakhir akan menetap ke dalam “alam akal” di lingkungan cahaya Tuhan. Di sanalah jiwa akan kekal abadi di bawah cahaya Tuhan. Bagi yang berbuat durhaka dan kejahatan di dunia, jiwa (ruh) manusia akan jauh dari cahaya Tuhan sehingga dia akan sengsara. Bagi manusia yang berbuat kebajikan, jiwa (ruh) yang dikandungnya dahulu ketika di bumi, akan dekat dengan cahaya Tuhan dan akan hidup bahagia di sisi-Nya.
Demikian sekilas tentang al-Kindi, filosof muslim pertama yang telah berjasa memberi tansformasi intelektual bagi umat Islam dan peradaban manusia. Semoga ringkasan ini bisa memberi ‘warna lain’ bagi pencerahan intelektual dan kedewasaan dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku.
B. AL-FARABI
Meskipun Al-Farabi telah banyak mengambil dari Plato, Aristoteles dan Plotinus,
namun ia tetap memegangi kepribadian, sehingga pikiran-pikiranya tersebut
merupakan filsafat Islam yang berdiri sendiri, yang bukan filsafat stoa,
atau Peripatetik atau Neo Platonisme. Memang bisa
dikatakan adanya pengaruh aliran-aliran tersebut, namun bahannya yang pokok
adalah dari Islam sendiri.
Al-Farabi adalah seorang filosof muslim dalam arti yang sebenarnya. Ia
telah menciptakan sistem filsafat yang relatif lengkap, dan telah memainkan
peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di dunia Islam. Ia
menjadi anutan/guru dari filosof-filosof Islam sesudahnya, seperti Ibnu Sina
dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi terkenal sebagai filosof sinkretismeyang
mempercayai filsafat. Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat
yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran plato dan plotinus, juga antara
agama dan filsafat. Usaha Al-Farabi diperluas lagi, bukan hanya mempertemukan
aneka aliran filsafat yang bermacam-macam, tapi ia berkeyakinan bahwa
aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda-beda corak dan
macamnya .
Menurutnya, tujuan
filsafat itu memikirkan kebenaran, karena kebenaran itu hanya ada satu, tidak
ada yang lain . Al-Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak
bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran . Hal ini terbukti dengan
karangannya yang berjudul Al-Jami’ Baina Ra’yani Al-Hakimain dengan
maksud mempertemukan pikiran-pikiran Plato dengan Aristoteles. Kendatipun
begitu, Al-Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan
wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batin) .
Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang wakil paling terkemuka
aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai (Peripaterik) filosof-keilmuan.
Tidak heran jika ia mendapat gelar Al-Mu’alim Al-Tsani.
Al-Farabi adalah orang pertama yang memberikan uraian sistematik terhadaphirearki wujud
dalam kerangka hirearki intelegensi dan jiwa serta
pemancaran (faidh)-nya dari Tuhan. Al-Farabi membagi wujud menjadi
tiga jenis berdasarkan jumlah sebabnya.Pertama, wujud keberadaannya
sama sekali tidak memiliki sebab. Al-Farabi menyebut wujud ini sebagai wujud
pertama atau sebab pertama yang merupakan prinsip tertinggi eksistensi setiap
wujud lainnya. Tentang prinsip tertinggi ini hanya terbatas pada pengetahuan tentang
hal itu dan bukan prinsip-prinsip wujudnya. Kedua, wujud yang
memiliki keempat sebabAristetolian: material, formal, efisien, dan final. Ketiga, wujud yang sepenuhnya immaterial -
yang lain daripada wujud benda di dalam atau menempati benda-benda.
Al-farabi adalah filsuf Islam pertama yang berupaya
menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik
Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam
konteks agama-agama wahyu. Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan
pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani
seperti Platodan Aristoteles dan mencoba
mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran
Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama)
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tuhan menurut Al-kindi, adalah yang Maha Esa dalam arti
sesungguhnya, sedangkan Esa-esa yang lain yang terdapat dalam alam, hanyalah
dalam arti majazi/metaporis. keEsaan Tuhan tidak mengandung kejamakan,
sedangkan Esa-esa yang lain tidak sunyi
dari kejamakn itu.
Menurut Al-kindi Roh tidak tersusun (simple, sederhana) tetapi
mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi berasal dari substansi
Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan Matahari.
Menurut
Al-Farabi tidak ada perbedaan antara sifat Tuhan dengan Zat (substansi) Tuhan,
sifat Tuhan yang berarti pula substansi Tuhan kesatuan antara sifat-sifat dan
substansi Tuhan itu, sebenarnya untuk menjelaskan bahwa Tuhan itu benar-benar
Esa, sebab bila dipisahkan antara sifat dan substansinya, akan menunjukkan
bahwa Tuhan tidak Esa lagi. Tuhan sendiri adalah sebenarnya akal, sebab segala
sesuatu yang tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Begitu
pula dengan Wujud yang pertama (Tuhan). Zat (substansi) Tuhan yang satu itu
adalah akal (pikiran). Akal adah zat (substansi) yang berpikir, tetapi
sekaligus juga menjadi obyek pemikirannya. Jadi substansi Tuhan yang berupa itu
menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri. Untuk menjelaskan bahwa substansi Tuhan
itu sama dengan akal (pikiran) Al-farabi sebenarnya mengambil pendapat
Aristoteles, bahwa Tuhan menurut Aristoteles adalah Akal yang berfikir, yang
oleh Al-Farabi dikatakan sebagai akal murni.
B.
SARAN
Dalam pembuatan
makalah ini, pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi tercapainya kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran
Falsafi dalam Islam, Padang : IAIN
IB Press, 1999
Nasuton, Harun, Falsafat
dan Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1995
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam,
Jakarta; PT Rajagrafindo persada,
2004.
Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran
Falsafi dalam Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1991
[1] Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran
Falsafi Dalam Islam, (padang, IAIN-IB Press, 1999.) hlm.36-37
[2] Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran
Falsafi Dalam Islam, (padang, IAIN-IB Press, 1999.) hlm.38-39
[3] Drs. Sidi Ghazalfa; hlm.34
[4] Drs.Sudarsono; Filsafat Islam; hlm.36-37
[5] Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1995) hlm. 14
bagus artikelnya terima kasih
BalasHapus