"fenomena jilbobs
dan jilbab dalam pandangan empat madzhab"
Belum
lama ini perbincangan populer, terutama di jejaring sosial dunia maya, ramai
dengan fenomena jilboobs. Istilah jilboobs tentu saja adalah plesetan yang tampaknya dimaksudkan dengan
konotasi negatif; tentang pemakian jilbab yang dianggap tak sesuai syariat
karena dipadu dengan baju yang ketat sehingga payudaranya [boobs] menyembul.
Ada
dirasa semacam kontradiksi. Menurut pandangan umum, jilbab adalah simbol
pakaian religius (Islam) dan mestinya mencerminkan kesopanan atau modesty. Nilai ini menjadi hilang ketika jilbab dipadu
dengan fashion mutakhir yang menonjolkan kemolekan
wanita—sesuatu yang secara natural juga dinginkan banyak wanita.
Dari pro-kontra tentang jilboobs, sekurang-kurangnya ada tiga pandangan yang bisa
dapatkan :
Pertama, dari mereka
yang ingin menegakkan “syariat”, yang memandang bahwa jilbab yang syar’iitu ya mesti menutup dada, tidak transparan dan
ketat, sebab itulah yang diatur dan termaktub jelas dalam kitab-kitab fikih
(hukum Islam). Bagi mereka, jilboobs jelas merupakan manifestasi dari cara berhias ala Jahiliah
(istilah al-Quran: tabarruj al-jahiliyyah). Pandangan ini sering melahirkan sikap sinis terhadap para jilboober.
Kedua, dari mereka yang
agak “halus”, yang juga ingin mengawal “syariat” tetapi lebih memandang sikap
para Muslimah dalam berjilbab sebagai suatu proses. Kelompok ini berpandangan
bahwa sebaiknya para jilboober jangan dicela; siapa tahu nanti bisa “bertaubat:, beranjak ke
tahap berpakaian yang lebih syar’i. Kelompok ini memandang bahwa jilboobs, meski dipadu pakaian ketat, masih lebih baik
daripada tak menutup aurat sama sekali. Dalam pandangan kelompok kedua, syariat
diperlakukan tidak dengan tawaran “lakukan atau tidak sama sekali” (take it or leave it).
Meskipun demikian,
kelompok kedua ini masih memandang sinis terhadap Muslimah yang tak menurup
aurat sebagaimana diatur dalam fikih konservatif—dan faktanya ialah ada begitu
banyak Muslimah negeri ini yang tak berjilbab.
Ketiga, mereka yang
memandang ihwal berjilbab atau tak berjilbab sebagai soal pilihan semata yang
mesti dihormati, sebab itu adalah hak. Kalau dalam soal yang lebih fundamental
(ushul) seperti memilih suatu agama saja, menurut
kelompok ini, seseorang berhak untuk percaya atau tak percaya (istilah
al-Quran: faman sya’a falyu’min waman sya’a falyakfur), maka dalam soal ‘cabangan’ (furu’) seperti jilbab, tentu ada hak yang sama.
Epistemologi Tafsir
Terlepas
dari ketiga pandangan itu, agar perspektifnya proporsional, kita perlu tahu
bagaimana sejarah awal pewajiban jilbab dalam Islam. Ada dua epistemologi (ushul al-fiqh) yang dipakai untuk menafsirkan ayat tentang
jilbab (yang termaktub dalam QS 24:31 & 55:39).
Pertama, yang diikuti
mayoritas ulama, yang mengunggulkan penafsiran tekstual, yang menganggap
kewajiban jilbab (dengan prosedur yang diatur dalam fikih) adalah tak terkait
kontes dan berlaku lintas waktu dan zaman. Artinya, di manapun dan kapanpun
jilbab adalah kewajiban dan cara berpakaiannya sudah ditentukan. Sistem sosial
Arab abad 7 M tak relevan dalam perbincangan tentang kewajiban jilbab.
Kedua, yang tampaknya
diikuti minoritas cendekiawan, yang mengutamakan kontekstualisasi penafsiran
dengan mempertimbangkan sababun-nuzul (konteks turun) dari ayat itu dan mengunggulkan ratio legis
(‘illatul-hukmi) pewajiban jilbab.
Dengan
menulusuri sebab dan konteks turunnya kedua ayat jilbab itu, bisa diambil
kesimpulan bahwa pewajiban jilbab pertama kali ialah untuk membedakan wanita
merdeka (bukan budak) yang wajib berjilbab dari wanita budak (yang auratnya
sama dengan laki-laki). Istilah al-Quran: an yu’rafna fala yu’dzain (agar mereka [Muslimah merdeka] bisa dikenali
[dari yang budak] sehingga tak dilecehkan). Diriwayatkan pula, Sayyidina Umar
ibn al-Khattab pernah suatu ketika menyuruh budak wanitanya untuk melepas
jilbabnya, bukan karena alasan aurat, melainkan karena itu adalah pakaian
wanita merdeka (libas lil-hara’ir). Riwayat ini bisa anda dapati di beberapa kitab tafsir atau
fikih yang membahas batasan aurat budak.
Dengan
melihat konteks sosial saat jilbab pertama kali diwajibkan, budaya dan sistem
sosial yang berlaku saat itu (masih ada perbudakan) memiliki keterkaitan erat.
Substansi dari perintah jilbab, menurut penafsiran kedua, adalah memenuhi
kepantasan umum (public decency);
penafsiran yang dianggap lebih adaptif terhadap perkembangan zaman meski,
tentu, ditolak oleh fikih konservatif yang mengunggulkan aspek Teks (dengan “T”
kapital) ketimbang konteks. Epistemologi tafsir yang bekerja dalam fikih
konservatif ini ialah “al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bikhushus as-sabab” (Yang dianggap ialah generalitas teks, bukan
partikularitas konteks).
Namun
demikian, persoalan jilbab beserta berbagai penafsiran itu pada akhirnya akan
diseleksi sejarah. Kita tahu, sekali lagi, hari ini banyak sekali Muslimah yang
tak berjilbab; juga banyak yang berjilbab tapi tak dianggap syar’i—yang berarti ada banyak Muslimah yang boleh jadi
secara sukarela berdosa (dianggap berdosa?).
Fenomena
jilbab lebar, atau sekarang lebih populer dengan istilah “hijab”, di negeri ini
mulai semarak menjelang Reformasi—antara lain, sebagai manifestasi perlawanan
dan politik identitas Islam terhadap serangan budaya Barat. Betapapun, karena
persoalan jilbab erat berkaitan dengan budaya, rasionalitas publiklah yang akan
menentukan “evolusi” dan “survival” jilbab. Kita pun tahu, agama diturunkan
demi kepentingan atau kemaslahatan manusia.
Jilbab dalam pandangan
4 (Empat) madhzhab
Hijab dan Jilbab adalah masalah Fiqih (Syari’ah), Keempat
Mazhab yg terkenal seperti Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali dan semua
ahli Fiqh dan Syariat Islam sependapat bahwa aurat perempuan adalah semua
badannya kecuali Muka dan Telepak tangan.
Berikut ini adalah dalil-dalil tentang wajibnya memakai Hijab
menurut Al-Qur’an dan Hadith dan penafsiran para Shahabat dan Fuqaha (Ahli
Fiqih) Hukum Jilbab dan Hijab:Rasulullah saw. bersabda yang artinya :
“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah
melihatnya: laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip
ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun
telanjang dan berlenggak-lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta.
Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal
sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR Muslim).
Aurat wanita yang tidak boleh terlihat di hadapan laki-laki lain
(selain suami dan mahramnya) adalah seluruh anggota badannya kecuali wajah dan
telapak tangan. Hal ini berdasarkan dalil sebagai berikut :
A. Alquran surah An-Nur ayat 31 :
“Dan katakanlah kepada
wanita-wanita yang beriman : ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkkan khumurnya (Ind
hijab) ke dadanya….”
Ayat ini menegaskan
empat hal :
1. Perintah untuk menahan pandangan dari yang diharamkan oleh
Allah.
2. Perintah untuk menjaga kemaluan dari perbuatan yang haram.
3. Larangan untuk menampakkan perhiasan kecuali yang biasa
tampak. Para ulama mengatakan bahwa ayat ini juga menunjukkan akan haramnya
menampakkan anggota badan tempat perhiasan tersebut. Sebab, jika perhiasannya
saja dilarang untuk ditampakkan apalagi tempat perhiasan itu berada. Sekarang
marilah kita perhatikan penafsiran para sahabat dan ulama terhadap kalimat
“kecuali yang biasa nampak” dalam ayat tersebut. Menurut Ibnu Umar r.a. yang
biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan. Begitu pula menurut ‘Atha, Imam
Auzai, dan Ibnu Abbas r.a. Hanya saja, beliau (Ibnu Abbas) menambahkan cincin dalam
golongan ini. Ibnu Mas’ud r.a. mengatakan maksud kata tersebut adalah pakaian
dan jilbab. Said bin Jubair r.a. mengatakan maksudnya adalah pakaian dan wajah.
Dari penafsiran para sahabat dan para ulama ini jelaslah bahwa yang boleh
tampak dari tubuh seorang wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Selebihnya hanyalah pakaian luarnya saja.
4. Perintah untuk menutupkan khumur ke dada. Khumur adalah
bentuk jamak dari khimar yang berarti kain penutup kepala. Atau, dalam bahasa
kita disebut hujab. Ini menunjukkan bahwa kepala dan dada adalah juga termasuk
aurat yang harus ditutup. Berarti tidak cukup hanya dengan menutupkan hijab
pada kepala saja dan ujungnya diikatkan ke belakang. Tetapi, ujung jilbab
tersebut harus dibiarkan terjuntai menutupi dada.
B. Hadis riwayat
Aisyah r.a :
Bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah
dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah berpaling darinya dan berkata,
“Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil
balig) maka tidak ada yang layak terlihat kecuali ini,” sambil beliau menunjuk
wajah dan telapak tangan. (HR Abu Daud dan Baihaqi).
Hadis ini menunjukkan
dua hal:
1. Kewajiban
menutup seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan telapak tangan.
2. Pakaian yang tipis
tidak memenuhi syarat untuk menutup aurat. Dari kedua dalil di atas, jelaslah
batasan aurat bagi wanita, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak
tangan. Dari dalil tersebut pula kita memahami bahwa menutup aurat adalah
wajib. Berarti jika dilaksanakan akan menghasilkan pahala dan jika tidak
dilakukan maka akan menuai dosa. Kewajiban menutup aurat ini tidak hanya
berlaku pada saat salat saja atau ketika hadir dipengajian, namun juga pada
semua tempat yang memungkinkan ada laki-laki lain bisa melihatnya. Selain kedua
dalil di atas masih ada dalil-dalil lain yang menegaskan akan kewajiban menutup
aurat ini: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu melakukan
tabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah dahulu.
” (Al-Ahzab: 33).
Tabarruj adalah perilaku mengumbar aurat atau tidak menutup bagian tubuh yang
wajib untuk ditutup. Fenomena mengumbar aurat ini adalah perilaku jahiliah.
Konteks ayat di atas ditujukan untuk istri-istri Rasulullah. Namun, keumuman
ayat ini mencakup seluruh wanita muslimah. Kaidah ilmu ushul fiqh mengatakan,
“Yang dijadikan pedoman adalah keumuman lafaz sebuah dalil dan bukan
kekhususan, sebab munculnya dalil tersebut (al ibratu bi umumil lafdzi la
bikhususis sabab).”
“Hai Nabi, katakanlah
kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang
mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka
tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59).
Jilbab dalam bahasa Arab berarti pakaian yang menutupi seluruh tubuh (pakaian
kurung), bukan berarti jilbab dalam bahasa kita (lihat arti kata khimar di
atas). Ayat ini menjelaskan pada kita bahwa menutup seluruh tubuh adalah kewajiban
setiap mukminah dan merupakan tanda keimanan mereka. Syarat-Syarat Pakaian
Penutup Aurat Wanita Pada dasarnya seluruh bahan, model, dan bentuk pakaian
boleh dipakai, asalkan memenuhi syarat-syarat berikut.
1. Menutup seluruh
tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
2. Tidak tipis dan
transparan.
3. Longgar dan tidak
memperlihatkan lekuk-lekuk dan bentuk tubuh (tidak ketat).
4. Bukan pakaian
laki-laki atau menyerupai pakaian laki-laki.
5. Tidak berwarna dan
bermotif terlalu menyolok. Sebab, pakaian yang menyolok akan mengundang
perhatian laki-laki. Dengan alasan ini pula, maka membunyikan
(menggemerincingkan) perhiasan yang dipakai tidak diperbolehkan walaupun itu
tersembunyi di balik pakaian.
Adapun masalah hijab
atau batasan pergaulan laki-laki dan wanita yang bukan mahram, maka tidak boleh
atau haram bersentuhan, berdua-duaan atau khalwat, haram saling
pandang-pandangan, kecuali untuk khitbah atau melamar, haram berbincang-bincang
yang mengundang syahwat, kecuali masalah belajar atau taklim atau muamalah.
Batasan Aurat Wanita & Hukum Menutupnya
Jilbab
itu menurut Tafsir al Qurtubi dalam menafsiri ayat ke-59 dari surat al Ahzab,
adalah : Selembar pakaian yang lebih besar daripada kerudung. Menurut riwayat
Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud, jilbab itu adalah selendang. Ada yang mengatakan
bahwa jilbab itu adalah cadar yang dipakai untuk menutupi muka wanita. Yang
benar, jilbab itu adalah pakaian yang dipakai untuk menutupi seluruh badan
wanita. Dengan demikian, maka masalah memakai jilbab adalah sama dengan masalah
menutup aurat bagi wanita. Dalam hal menutup aurat bagi wanita ini menurut
madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali, disebutkan dalam kitab al Fiqhul
Islamy wa Adillatuhu karangan Dr. Wahbah az Zuhaili (terbitan Darul Fikr) juz 1
halaman 584-594 sebagai berikut :
1- مَذْهَبُ الحَنَفِيَّةِ : المَرْأَةُ الحُرَّةُ
وَمِثْلُهَا الخُنْثَى : جَمِيْعُ بَدَنِهَا حَتَّى شَعْرِهَا النَّازِلِ فِى
الأصَحِّ, مَاعَدَا الوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ, وَالقَدَمَيْنِ ظَاهِرِهِمَا
وَبَاطِنِهِمَا عَلَى المُعْتَمَدِ لِعُمُومِ الضَرُورَةِ
2- المَذْهَبُ المَالِكِيَّةِ. والعَورَةُ بِالنِّسْبَةِ لِلرُّؤْيَةِ:
للرَّجُلِ مَابَيْنَ السُرَّةِ وَالرُّكْبَةِ, وَلِلْمَرْأَةِ أمَامَ رَجُلٍ
أجْنَبِيٍّ جَمِيْعُ بَدَنِهَا غَيْرَ الوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ, وَاَمَامَ
مَحَارِمِهَا جَمِيعٌ جَسَدِهَا غَيْرَ الوَجْهِ وَالأطْرَافِ: وَهِيَ الرّأسُ
وَالعُنُقُ وَاليَدَانِ وَالرِّجْلاَنِ, إلاَّ انْ يُخْشَ لَذَّةٌ, فَيَحْرُمُ
ذَلِكَ, لاَ لِكَوْنِهِ عَوْرَةُ. وَالمَرْأَةُ مَعَ
المَرْأةِ أو مَعَ ذَوِى المَحَارِمِهَا كَالرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ, تُرَى مَاعَدَا
مَابَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ وَأمَامَ المَرْأَةُ فِى النَّظْرِ إلَى
الأَجْنَبِيِّ فَهِيَ كَحُكْمِ الرَّجُلِ مَعَ ذَوَاتِ مَحَارِمِهِ وَهُوَ
النَّظْرُ إلَى الوَجْهِ وَالأطْرَافِ (الرَّأسِ وَاليَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْن)
3- مَذْ هَبُ الَشَّافِعِيَّةِ ج-عَوْرَةُ
الحُرَّةِ وَمِثْلُهَا الخُنْثَى: مَاسِوَى الوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ,ظَهْرِهِمَاوَبَطْنِهِمَا مِنْ رُؤُوْسِ
الاَصَابِعِ الَى الْكُعَيْنِ (الَرَّسْغُ اَوْ مَفْصِلُ الزَّنْدِ) لِقَوْلِهِ
تَعَلَى: وَلاَيُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلاَّ مَاظَهَرَ
مِنْهَا. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَائِشَهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ: هُوَ الوَجْهُ
وَالْكَفَّانِ. وَلاَنَّ الَنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمَرْأَةَ الْحَرَامَ (الْمُحَرَّمَةَ بِحَجِّ اَوْعُمْرَةٍ) عَنْ
لُبْسٍ الْقُفَّزَيْنِ وَالَّنقَابِ, وَلَوْكَانَ الَوجْهُ عَوْرَةً
لَمَّاحُرِّمَاسَتْرُهُمَا فِى الاِحْرَامِ, وَلاَّنَ الْحَاجَةتَدْعُوْ اِلَى
اِبْرَازِ الْوَجْهِ لِلْبَيْعِ وَالشَّرَاءِ, وَاِلَى اِبْرِازِ الْكَفِّ لِلاَ
خْذِ وَالْعَطَاءِ, فَلَمْ يُجْعَلْ ذَالِكَ عَوْرَةً
4- مَذْهَبُ اْلحَنَابِلَةِ وَعَوْرَةُ
الْمَرْأَةِ مَعَ مَحَارِمِهَاالرِّجَالِ: هِيَ جَمِيْعُ بَدَنِهَامَاعَدَ
الوَجْهِ وَالَّر قْبَةِ وَالْيَدَيْنِ وَالْقَدَمِ وَالسَّاقِ. وَجَمِيْعُ بَدَنِ
الْمَرْأَةِ حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ خَارِجَاالصَّلاَةِ عَوْرَةٌ كَمَا
قَالَ الشّضافِعِيَّةُ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّابِقِ:
الَمَرْأَةُ عَوْرَةٌ. وَيُبَاحُ كَشْفُ الْعَوْرَةِ لِنَحْوِ تَدَاوٍ وَتَحِلُّ
فِى الْخَلاَءِ, وَخِتَانٍ, وَمَعْرِفَةِ الْبُلُوْغِ,وَبِكَارَةٍ وَثَيُوْبَةٍ, وَعَيْبٍ. وَعَوْرَةٌ
المُسْلِمَةِ اَمَامَ الكَافِرَةِ: عَوْرَةُ الْمُسْلِمَةِ اَمَامَ الْكَافِرَةِ
عِنْدَ الْحَنَابَلَةِ كَاالرَّجُلِ الْمُحْرِمِ: مَابَيْنَ السُّرَّةِ
وَالُّركْبَةِ. وَقَالَ الْجُمْهُوْرُ: جَمِيْعُ الْبَدَنِ مَاعَدَامَاظَهَرَ
عِنْدَ الْمِهْنَةِ اَيِ الاَسْغَالِ الْمَنْزِلِيَّةِ.
Madzhab Hanafi :
Wanita merdeka dan yang sepertinya adalah orang banci, auratnya adalah seluruh
badanya rambutnya turun, menurut pendapat yang paling kuat, selain dan tapak
dua tangan, kedua kaki bagian dalam dan bagian luar menurut pendapat yang dapat
di jadikan pegangan, karena keumuman dari keperluan yang mendesak.
Madzhab Maliki : Aurat
dipandang dari segi melihatnya: bagi laki-laki adalah apa yang ada diantara
pusat dan lutut. Dan bagi wanita dihadapan orang laki-laki lain adalah seluruh
tubuhnya selain muka dan kedua telapak tangan. Dan di hadapan muhrimnya
(laki-laki) adalah seluruh jasadnya selain muka dan anggauta –anggauta: kepala,
leher, kedua tangan dan kedua kaki, kecuali jika di takutkan rasa lezat, maka
hal tersebut haram, bukan karena keadaanya sebagai aurat. Dan wanita dengan
wanita atau yang mempunyai hubungan muhrim adalah laki-laki, yaitu dapat
dilihat apa yang ada dipusat dan lutut. Adapun wanita wanita dalam memendang ke
laki-laki lain adalah seperti hukumnya lain adalah seperti hukumnya laki-laki
beserta para wanita yang menjadi muhrimnya, yaitu memandang kepada
anggauta-anggauta: kepala, kedua tangan dan kedua kaki.
Madzhab Syafii : Aurat
wanita merdeka dan yang sepertinya adalah orang banci adalah: apa yang selain
muka dan kedua telapak tangan, bagian luar dan dalam dari kedua ujung-ujung
jari dan dari dua pergelangan tangan (ruas atau tempat pergelangan tangan) ,
berdasarkan firman Allah : Janganlah para wanita menampakan perhiasan mereka
kecuali apa yang nampak dari padanya. Ibnu Abbas dan Aisyah ra. berkata: Yaitu
muka dan kedua tapak tangan. Dan Nabi saw. Telah melarang wanita yang ihram
untuk haji atau umroh untuk memakai dua sarung tangan dan kain tutup maka
(cadar). Andaikata tapak tangan dan muka itu adalah aurat, niscaya tidak diharamkan
menutup keduanya dalam ihram, dan karena hajat mengundang kepada penampakan
muka untuk jual beli dan penampakan tpak tangan untuk mengambil dan memberi,
maka hal itu tidak di jadikan aurat.
Madzhab Hambali :
Aurat wanita beserta para muhrimnya laki-laki adalah selain badanya selain
muka, tengkuk, dua tangan, kaki dan betis. Semua badan wanita sampai muka dan
kedua tapak tangan diluar salat adalah aurat, sebagaimana kata Asy Syafii
berdasarkan sabda Nabi saw. yang telah lalu wanita adalah aurat. Dan
diperbolehkan membuka aurat karena keperluan seperti, berobat, berhajat di
tempat yang sunyi, khitan, mengetahui masa baligh, perawan dan tidaknya wanita
dan cacat. Aurat wanita muslim dihadapan wanita kafir, menurut madzhab Hambali
adalah seperti di hadapan laki-laki mahram, yaitu anggota badan yang ada
diantara pusat dan lutut. Jumhur (sebagian besar ulama) berpendapat bahwa
seluruh badan wanita itu adalah aurat, kecuali apa yang nampak pada waktu
melakukan kesibukan-kesibukan rumah.
Di atas sudah dicantumkan
menurut Tafsir al Qurtubi dalam menafsiri ayat ke-59 dari surat al Ahzab
يا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ
ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَّحِيمًا ﴿٥٩﴾
(59) Hai Nabi
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.
Realita JILBAB VS
KERUDUNG di Indonesia
Jilbab merupakan
fenomena lokal Indonesia. Jadi semestinya di sini perlu telaah teks, konteks,
dan kontekstualisasi. Ranah teks ditunjukkan oleh QS. An-Nur: 31 untuk kerudung : "... Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya ..." (An-nur : 31). Dan QS. Al-Ahzab: 59
untuk jilbab: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka" (Al-ahzab : 59)
Konteksnya alias
pengejawantahan teks bisa dipahamami dari penjelasan Lisanul 'Arab. Tertulis di
kitab itu jilbab adalah sesuatu yg menutupi tubuh dari arah atas seperti halnya
mantel. Ada juga yg menyebut jilbab sama dg kerudung. Menurut Ibnu Mas'ud, 'Ubaidah,
Hasan Bashri, dll jilbab adalah selendang yg dikenakan di atas kerudung.
Simpelnya, konteks
jilbab diistilahkan berbeda-beda oleh orang Arab tempo dulu. Lalu bagaimana
jika dihadapkan pd era kekinian? Nah, inilah tahap kontekstualisasi. Jika anda mendalami
bahasa Arab maka andanya tentunya mengerti telah terjadi penyempitan makna
jilbab di masa sekarang. Jilbab sekarang ini terbatas pd pakaian terusan yg
menutupi seluruh tubuh. Dikenal juga dg baju kurung di Indonesia, chador di
Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charsaf di
Turki, serta hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti Sudan, Yaman, dan
Mesir.
Sedangkan jilbab dalam
artian penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Penutup kepala disebut khimar
di negara-negara Arab, tudung di Malaysia, dan kerudung di Indonesia. Namun
sejak awal 80'an masyarakat kita lebih populer menyebutnya jilbab. Bisa
diketahui dari uraian di atas bhw jilbab sebagai penutup kepala merupakan
istilah mu'arrab (yg diarab-arabkan). Mirip dengan ambiguitas istilah 'syekh'
di Indonesia. Lalu apakah jilbab sama dengan kerudung ? Kalau di Indonesia ya
sama.
by : Saidi lubis

Luar biasa sekali ya Jasa Toko Online Profesional
BalasHapusJasa Pembuatan Website Toko Online serta layanan Jasa Pembuatan Website Penjualan Online dan
Jasa Pembuatan Online Shop
Grosir Jilbab Murah - Jilbab Segi Empat Terbaru dan Jilbab Instan Terbaru serta Jasa Pembuatan Website Murah serta Buat Toko Online Murah juga Jilbab Pasmina Terbaru