Minggu, 24 September 2017

Filled Under:

Fenomena Jilbab Dalam Pandangan Emat Mazhab


"fenomena jilbobs dan jilbab dalam pandangan empat madzhab"

Belum lama ini perbincangan populer, terutama di jejaring sosial dunia maya, ramai dengan fenomena jilboobs. Istilah jilboobs tentu saja adalah plesetan yang tampaknya dimaksudkan dengan konotasi negatif; tentang pemakian jilbab yang dianggap tak sesuai syariat karena dipadu dengan baju yang ketat sehingga payudaranya [boobs] menyembul.
Ada dirasa semacam kontradiksi. Menurut pandangan umum, jilbab adalah simbol pakaian religius (Islam) dan mestinya mencerminkan kesopanan atau modesty. Nilai ini menjadi hilang ketika jilbab dipadu dengan fashion mutakhir yang menonjolkan kemolekan wanita—sesuatu yang secara natural juga dinginkan banyak wanita.
Dari pro-kontra tentang jilboobs, sekurang-kurangnya ada tiga pandangan yang bisa dapatkan :
Pertama, dari mereka yang ingin menegakkan “syariat”, yang memandang bahwa jilbab yang syar’iitu ya mesti menutup dada, tidak transparan dan ketat, sebab itulah yang diatur dan termaktub jelas dalam kitab-kitab fikih (hukum Islam). Bagi mereka, jilboobs jelas merupakan manifestasi dari cara berhias ala Jahiliah (istilah al-Quran: tabarruj al-jahiliyyah). Pandangan ini sering melahirkan sikap sinis terhadap para jilboober.
Kedua, dari mereka yang agak “halus”, yang juga ingin mengawal “syariat” tetapi lebih memandang sikap para Muslimah dalam berjilbab sebagai suatu proses. Kelompok ini berpandangan bahwa sebaiknya para jilboober jangan dicela; siapa tahu nanti bisa “bertaubat:, beranjak ke tahap berpakaian yang lebih syar’i. Kelompok ini memandang bahwa jilboobs, meski dipadu pakaian ketat, masih lebih baik daripada tak menutup aurat sama sekali. Dalam pandangan kelompok kedua, syariat diperlakukan tidak dengan tawaran “lakukan atau tidak sama sekali” (take it or leave it).
Meskipun demikian, kelompok kedua ini masih memandang sinis terhadap Muslimah yang tak menurup aurat sebagaimana diatur dalam fikih konservatif—dan faktanya ialah ada begitu banyak Muslimah negeri ini yang tak berjilbab.
Ketiga, mereka yang memandang ihwal berjilbab atau tak berjilbab sebagai soal pilihan semata yang mesti dihormati, sebab itu adalah hak. Kalau dalam soal yang lebih fundamental (ushul) seperti memilih suatu agama saja, menurut kelompok ini, seseorang berhak untuk percaya atau tak percaya (istilah al-Quran: faman sya’a falyu’min waman sya’a falyakfur), maka dalam soal ‘cabangan’ (furu’) seperti jilbab, tentu ada hak yang sama.
Epistemologi Tafsir
Terlepas dari ketiga pandangan itu, agar perspektifnya proporsional, kita perlu tahu bagaimana sejarah awal pewajiban jilbab dalam Islam. Ada dua epistemologi (ushul al-fiqh) yang dipakai untuk menafsirkan ayat tentang jilbab (yang termaktub dalam QS 24:31 & 55:39).
Pertama, yang diikuti mayoritas ulama, yang mengunggulkan penafsiran tekstual, yang menganggap kewajiban jilbab (dengan prosedur yang diatur dalam fikih) adalah tak terkait kontes dan berlaku lintas waktu dan zaman. Artinya, di manapun dan kapanpun jilbab adalah kewajiban dan cara berpakaiannya sudah ditentukan. Sistem sosial Arab abad 7 M tak relevan dalam perbincangan tentang kewajiban jilbab.
Kedua, yang tampaknya diikuti minoritas cendekiawan, yang mengutamakan kontekstualisasi penafsiran dengan mempertimbangkan sababun-nuzul (konteks turun) dari ayat itu dan mengunggulkan ratio legis (‘illatul-hukmi) pewajiban jilbab.
Dengan menulusuri sebab dan konteks turunnya kedua ayat jilbab itu, bisa diambil kesimpulan bahwa pewajiban jilbab pertama kali ialah untuk membedakan wanita merdeka (bukan budak) yang wajib berjilbab dari wanita budak (yang auratnya sama dengan laki-laki). Istilah al-Quran: an yu’rafna fala yu’dzain (agar mereka [Muslimah merdeka] bisa dikenali [dari yang budak] sehingga tak dilecehkan). Diriwayatkan pula, Sayyidina Umar ibn al-Khattab pernah suatu ketika menyuruh budak wanitanya untuk melepas jilbabnya, bukan karena alasan aurat, melainkan karena itu adalah pakaian wanita merdeka (libas lil-hara’ir). Riwayat ini bisa anda dapati di beberapa kitab tafsir atau fikih yang membahas batasan aurat budak.
Dengan melihat konteks sosial saat jilbab pertama kali diwajibkan, budaya dan sistem sosial yang berlaku saat itu (masih ada perbudakan) memiliki keterkaitan erat. Substansi dari perintah jilbab, menurut penafsiran kedua, adalah memenuhi kepantasan umum (public decency); penafsiran yang dianggap lebih adaptif terhadap perkembangan zaman meski, tentu, ditolak oleh fikih konservatif yang mengunggulkan aspek Teks (dengan “T” kapital) ketimbang konteks. Epistemologi tafsir yang bekerja dalam fikih konservatif ini ialah “al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bikhushus as-sabab” (Yang dianggap ialah generalitas teks, bukan partikularitas konteks).
Namun demikian, persoalan jilbab beserta berbagai penafsiran itu pada akhirnya akan diseleksi sejarah. Kita tahu, sekali lagi, hari ini banyak sekali Muslimah yang tak berjilbab; juga banyak yang berjilbab tapi tak dianggap syar’i—yang berarti ada banyak Muslimah yang boleh jadi secara sukarela berdosa (dianggap berdosa?).
Fenomena jilbab lebar, atau sekarang lebih populer dengan istilah “hijab”, di negeri ini mulai semarak menjelang Reformasi—antara lain, sebagai manifestasi perlawanan dan politik identitas Islam terhadap serangan budaya Barat. Betapapun, karena persoalan jilbab erat berkaitan dengan budaya, rasionalitas publiklah yang akan menentukan “evolusi” dan “survival” jilbab. Kita pun tahu, agama diturunkan demi kepentingan atau kemaslahatan manusia.

Jilbab dalam pandangan 4 (Empat) madhzhab
Hijab dan Jilbab adalah masalah Fiqih (Syari’ah),  Keempat Mazhab yg terkenal seperti Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali dan semua ahli Fiqh dan Syariat Islam sependapat bahwa aurat perempuan adalah semua badannya kecuali Muka dan Telepak tangan.
Berikut ini adalah dalil-dalil tentang wajibnya memakai Hijab menurut Al-Qur’an dan Hadith dan penafsiran para Shahabat dan Fuqaha (Ahli Fiqih) Hukum Jilbab dan Hijab:Rasulullah saw. bersabda yang artinya :
 “Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: laki-laki yang  tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak-lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR Muslim).
Aurat wanita yang tidak boleh terlihat di hadapan laki-laki lain (selain suami dan mahramnya) adalah seluruh anggota badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Hal ini berdasarkan dalil sebagai berikut  :
A.    Alquran surah An-Nur ayat 31 :
“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkkan khumurnya (Ind hijab) ke dadanya….”

Ayat ini menegaskan empat hal :
1. Perintah untuk menahan pandangan dari yang diharamkan oleh Allah.
2. Perintah untuk menjaga kemaluan dari perbuatan yang haram.
3. Larangan untuk menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak. Para ulama mengatakan bahwa ayat ini juga menunjukkan akan haramnya menampakkan anggota badan tempat perhiasan tersebut. Sebab, jika perhiasannya saja dilarang untuk ditampakkan apalagi tempat perhiasan itu berada. Sekarang marilah kita perhatikan penafsiran para sahabat dan ulama terhadap kalimat “kecuali yang biasa nampak” dalam ayat tersebut. Menurut Ibnu Umar r.a. yang biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan. Begitu pula menurut ‘Atha, Imam Auzai, dan Ibnu Abbas r.a. Hanya saja, beliau (Ibnu Abbas) menambahkan cincin dalam golongan ini. Ibnu Mas’ud r.a. mengatakan maksud kata tersebut adalah pakaian dan jilbab. Said bin Jubair r.a. mengatakan maksudnya adalah pakaian dan wajah. Dari penafsiran para sahabat dan para ulama ini jelaslah bahwa yang boleh tampak dari tubuh seorang wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan. Selebihnya hanyalah pakaian luarnya saja.
4. Perintah untuk menutupkan khumur ke dada. Khumur adalah bentuk jamak dari khimar yang berarti kain penutup kepala. Atau, dalam bahasa kita disebut hujab. Ini menunjukkan bahwa kepala dan dada adalah juga termasuk aurat yang harus ditutup. Berarti tidak cukup hanya dengan menutupkan hijab pada kepala saja dan ujungnya diikatkan ke belakang. Tetapi, ujung jilbab tersebut harus dibiarkan terjuntai menutupi dada.
B. Hadis riwayat Aisyah r.a :
Bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah berpaling darinya dan berkata, “Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil balig) maka tidak ada yang layak terlihat kecuali ini,” sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan. (HR Abu Daud dan Baihaqi).
Hadis ini menunjukkan dua hal:
1.  Kewajiban menutup seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan telapak tangan.
2. Pakaian yang tipis tidak memenuhi syarat untuk menutup aurat. Dari kedua dalil di atas, jelaslah batasan aurat bagi wanita, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Dari dalil tersebut pula kita memahami bahwa menutup aurat adalah wajib. Berarti jika dilaksanakan akan menghasilkan pahala dan jika tidak dilakukan maka akan menuai dosa. Kewajiban menutup aurat ini tidak hanya berlaku pada saat salat saja atau ketika hadir dipengajian, namun juga pada semua tempat yang memungkinkan ada laki-laki lain bisa melihatnya. Selain kedua dalil di atas masih ada dalil-dalil lain yang menegaskan akan kewajiban menutup aurat ini: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu melakukan tabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah dahulu.
” (Al-Ahzab: 33). Tabarruj adalah perilaku mengumbar aurat atau tidak menutup bagian tubuh yang wajib untuk ditutup. Fenomena mengumbar aurat ini adalah perilaku jahiliah. Konteks ayat di atas ditujukan untuk istri-istri Rasulullah. Namun, keumuman ayat ini mencakup seluruh wanita muslimah. Kaidah ilmu ushul fiqh mengatakan, “Yang dijadikan pedoman adalah keumuman lafaz sebuah dalil dan bukan kekhususan, sebab munculnya dalil tersebut (al ibratu bi umumil lafdzi la bikhususis sabab).”
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59). Jilbab dalam bahasa Arab berarti pakaian yang menutupi seluruh tubuh (pakaian kurung), bukan berarti jilbab dalam bahasa kita (lihat arti kata khimar di atas). Ayat ini menjelaskan pada kita bahwa menutup seluruh tubuh adalah kewajiban setiap mukminah dan merupakan tanda keimanan mereka. Syarat-Syarat Pakaian Penutup Aurat Wanita Pada dasarnya seluruh bahan, model, dan bentuk pakaian boleh dipakai, asalkan memenuhi syarat-syarat berikut.
1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
2. Tidak tipis dan transparan.
3. Longgar dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk dan bentuk tubuh (tidak ketat).
4. Bukan pakaian laki-laki atau menyerupai pakaian laki-laki.
5. Tidak berwarna dan bermotif terlalu menyolok. Sebab, pakaian yang menyolok akan mengundang perhatian laki-laki. Dengan alasan ini pula, maka membunyikan (menggemerincingkan) perhiasan yang dipakai tidak diperbolehkan walaupun itu tersembunyi di balik pakaian.

Adapun masalah hijab atau batasan pergaulan laki-laki dan wanita yang bukan mahram, maka tidak boleh atau haram bersentuhan, berdua-duaan atau khalwat, haram saling pandang-pandangan, kecuali untuk khitbah atau melamar, haram berbincang-bincang yang mengundang syahwat, kecuali masalah belajar atau taklim atau muamalah.

Batasan Aurat Wanita & Hukum Menutupnya
Jilbab itu menurut Tafsir al Qurtubi dalam menafsiri ayat ke-59 dari surat al Ahzab, adalah : Selembar pakaian yang lebih besar daripada kerudung. Menurut riwayat Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud, jilbab itu adalah selendang. Ada yang mengatakan bahwa jilbab itu adalah cadar yang dipakai untuk menutupi muka wanita. Yang benar, jilbab itu adalah pakaian yang dipakai untuk menutupi seluruh badan wanita. Dengan demikian, maka masalah memakai jilbab adalah sama dengan masalah menutup aurat bagi wanita. Dalam hal menutup aurat bagi wanita ini menurut madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali, disebutkan dalam kitab al Fiqhul Islamy wa Adillatuhu karangan Dr. Wahbah az Zuhaili (terbitan Darul Fikr) juz 1 halaman 584-594 sebagai berikut :
1- مَذْهَبُ الحَنَفِيَّةِ : المَرْأَةُ الحُرَّةُ وَمِثْلُهَا الخُنْثَى : جَمِيْعُ بَدَنِهَا حَتَّى شَعْرِهَا النَّازِلِ فِى الأصَحِّ, مَاعَدَا الوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ, وَالقَدَمَيْنِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا عَلَى المُعْتَمَدِ لِعُمُومِ الضَرُورَةِ
2- المَذْهَبُ المَالِكِيَّةِ. والعَورَةُ بِالنِّسْبَةِ لِلرُّؤْيَةِ: للرَّجُلِ مَابَيْنَ السُرَّةِ وَالرُّكْبَةِ, وَلِلْمَرْأَةِ أمَامَ رَجُلٍ أجْنَبِيٍّ جَمِيْعُ بَدَنِهَا غَيْرَ الوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ, وَاَمَامَ مَحَارِمِهَا جَمِيعٌ جَسَدِهَا غَيْرَ الوَجْهِ وَالأطْرَافِ: وَهِيَ الرّأسُ وَالعُنُقُ وَاليَدَانِ وَالرِّجْلاَنِ, إلاَّ انْ يُخْشَ لَذَّةٌ, فَيَحْرُمُ ذَلِكَ, لاَ لِكَوْنِهِ عَوْرَةُ. وَالمَرْأَةُ مَعَ المَرْأةِ أو مَعَ ذَوِى المَحَارِمِهَا كَالرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ, تُرَى مَاعَدَا مَابَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ وَأمَامَ المَرْأَةُ فِى النَّظْرِ إلَى الأَجْنَبِيِّ فَهِيَ كَحُكْمِ الرَّجُلِ مَعَ ذَوَاتِ مَحَارِمِهِ وَهُوَ النَّظْرُ إلَى الوَجْهِ وَالأطْرَافِ (الرَّأسِ وَاليَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْن)
3- مَذْ هَبُ الَشَّافِعِيَّةِ ج-عَوْرَةُ الحُرَّةِ وَمِثْلُهَا الخُنْثَى: مَاسِوَى الوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ,ظَهْرِهِمَاوَبَطْنِهِمَا مِنْ رُؤُوْسِ الاَصَابِعِ الَى الْكُعَيْنِ (الَرَّسْغُ اَوْ مَفْصِلُ الزَّنْدِ) لِقَوْلِهِ تَعَلَى: وَلاَيُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلاَّ مَاظَهَرَ مِنْهَا. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَائِشَهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ: هُوَ الوَجْهُ وَالْكَفَّانِ. وَلاَنَّ الَنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَرْأَةَ الْحَرَامَ (الْمُحَرَّمَةَ بِحَجِّ اَوْعُمْرَةٍ) عَنْ لُبْسٍ الْقُفَّزَيْنِ وَالَّنقَابِ, وَلَوْكَانَ الَوجْهُ عَوْرَةً لَمَّاحُرِّمَاسَتْرُهُمَا فِى الاِحْرَامِ, وَلاَّنَ الْحَاجَةتَدْعُوْ اِلَى اِبْرَازِ الْوَجْهِ لِلْبَيْعِ وَالشَّرَاءِ, وَاِلَى اِبْرِازِ الْكَفِّ لِلاَ خْذِ وَالْعَطَاءِ, فَلَمْ يُجْعَلْ ذَالِكَ عَوْرَةً
4- مَذْهَبُ اْلحَنَابِلَةِ وَعَوْرَةُ الْمَرْأَةِ مَعَ مَحَارِمِهَاالرِّجَالِ: هِيَ جَمِيْعُ بَدَنِهَامَاعَدَ الوَجْهِ وَالَّر قْبَةِ وَالْيَدَيْنِ وَالْقَدَمِ وَالسَّاقِ. وَجَمِيْعُ بَدَنِ الْمَرْأَةِ حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ خَارِجَاالصَّلاَةِ عَوْرَةٌ كَمَا قَالَ الشّضافِعِيَّةُ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّابِقِ: الَمَرْأَةُ عَوْرَةٌ. وَيُبَاحُ كَشْفُ الْعَوْرَةِ لِنَحْوِ تَدَاوٍ وَتَحِلُّ فِى الْخَلاَءِ, وَخِتَانٍ, وَمَعْرِفَةِ الْبُلُوْغِ,وَبِكَارَةٍ وَثَيُوْبَةٍ, وَعَيْبٍ. وَعَوْرَةٌ المُسْلِمَةِ اَمَامَ الكَافِرَةِ: عَوْرَةُ الْمُسْلِمَةِ اَمَامَ الْكَافِرَةِ عِنْدَ الْحَنَابَلَةِ كَاالرَّجُلِ الْمُحْرِمِ: مَابَيْنَ السُّرَّةِ وَالُّركْبَةِ. وَقَالَ الْجُمْهُوْرُ: جَمِيْعُ الْبَدَنِ مَاعَدَامَاظَهَرَ عِنْدَ الْمِهْنَةِ اَيِ الاَسْغَالِ الْمَنْزِلِيَّةِ.
Madzhab Hanafi : Wanita merdeka dan yang sepertinya adalah orang banci, auratnya adalah seluruh badanya rambutnya turun, menurut pendapat yang paling kuat, selain dan tapak dua tangan, kedua kaki bagian dalam dan bagian luar menurut pendapat yang dapat di jadikan pegangan, karena keumuman dari keperluan yang mendesak.
Madzhab Maliki : Aurat dipandang dari segi melihatnya: bagi laki-laki adalah apa yang ada diantara pusat dan lutut. Dan bagi wanita dihadapan orang laki-laki lain adalah seluruh tubuhnya selain muka dan kedua telapak tangan. Dan di hadapan muhrimnya (laki-laki) adalah seluruh jasadnya selain muka dan anggauta –anggauta: kepala, leher, kedua tangan dan kedua kaki, kecuali jika di takutkan rasa lezat, maka hal tersebut haram, bukan karena keadaanya sebagai aurat. Dan wanita dengan wanita atau yang mempunyai hubungan muhrim adalah laki-laki, yaitu dapat dilihat apa yang ada dipusat dan lutut. Adapun wanita wanita dalam memendang ke laki-laki lain adalah seperti hukumnya lain adalah seperti hukumnya laki-laki beserta para wanita yang menjadi muhrimnya, yaitu memandang kepada anggauta-anggauta: kepala, kedua tangan dan kedua kaki.
Madzhab Syafii : Aurat wanita merdeka dan yang sepertinya adalah orang banci adalah: apa yang selain muka dan kedua telapak tangan, bagian luar dan dalam dari kedua ujung-ujung jari dan dari dua pergelangan tangan (ruas atau tempat pergelangan tangan) , berdasarkan firman Allah : Janganlah para wanita menampakan perhiasan mereka kecuali apa yang nampak dari padanya. Ibnu Abbas dan Aisyah ra. berkata: Yaitu muka dan kedua tapak tangan. Dan Nabi saw. Telah melarang wanita yang ihram untuk haji atau umroh untuk memakai dua sarung tangan dan kain tutup maka (cadar). Andaikata tapak tangan dan muka itu adalah aurat, niscaya tidak diharamkan menutup keduanya dalam ihram, dan karena hajat mengundang kepada penampakan muka untuk jual beli dan penampakan tpak tangan untuk mengambil dan memberi, maka hal itu tidak di jadikan aurat.
Madzhab Hambali : Aurat wanita beserta para muhrimnya laki-laki adalah selain badanya selain muka, tengkuk, dua tangan, kaki dan betis. Semua badan wanita sampai muka dan kedua tapak tangan diluar salat adalah aurat, sebagaimana kata Asy Syafii berdasarkan sabda Nabi saw. yang telah lalu wanita adalah aurat. Dan diperbolehkan membuka aurat karena keperluan seperti, berobat, berhajat di tempat yang sunyi, khitan, mengetahui masa baligh, perawan dan tidaknya wanita dan cacat. Aurat wanita muslim dihadapan wanita kafir, menurut madzhab Hambali adalah seperti di hadapan laki-laki mahram, yaitu anggota badan yang ada diantara pusat dan lutut. Jumhur (sebagian besar ulama) berpendapat bahwa seluruh badan wanita itu adalah aurat, kecuali apa yang nampak pada waktu melakukan kesibukan-kesibukan rumah.
Di atas sudah dicantumkan menurut Tafsir al Qurtubi dalam menafsiri ayat ke-59 dari surat al Ahzab
يا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَ‌ٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا ﴿٥٩﴾
(59) Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.

Realita JILBAB VS KERUDUNG di Indonesia
Jilbab merupakan fenomena lokal Indonesia. Jadi semestinya di sini perlu telaah teks, konteks, dan kontekstualisasi. Ranah teks ditunjukkan oleh QS. An-Nur: 31 untuk kerudung  : "... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya ..." (An-nur : 31). Dan QS. Al-Ahzab: 59 untuk jilbab: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" (Al-ahzab : 59)
Konteksnya alias pengejawantahan teks bisa dipahamami dari penjelasan Lisanul 'Arab. Tertulis di kitab itu jilbab adalah sesuatu yg menutupi tubuh dari arah atas seperti halnya mantel. Ada juga yg menyebut jilbab sama dg kerudung. Menurut Ibnu Mas'ud, 'Ubaidah, Hasan Bashri, dll jilbab adalah selendang yg dikenakan di atas kerudung.
Simpelnya, konteks jilbab diistilahkan berbeda-beda oleh orang Arab tempo dulu. Lalu bagaimana jika dihadapkan pd era kekinian? Nah, inilah tahap kontekstualisasi. Jika anda mendalami bahasa Arab maka andanya tentunya mengerti telah terjadi penyempitan makna jilbab di masa sekarang. Jilbab sekarang ini terbatas pd pakaian terusan yg menutupi seluruh tubuh. Dikenal juga dg baju kurung di Indonesia, chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charsaf di Turki, serta hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti Sudan, Yaman, dan Mesir.

Sedangkan jilbab dalam artian penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Penutup kepala disebut khimar di negara-negara Arab, tudung di Malaysia, dan kerudung di Indonesia. Namun sejak awal 80'an masyarakat kita lebih populer menyebutnya jilbab. Bisa diketahui dari uraian di atas bhw jilbab sebagai penutup kepala merupakan istilah mu'arrab (yg diarab-arabkan). Mirip dengan ambiguitas istilah 'syekh' di Indonesia. Lalu apakah jilbab sama dengan kerudung ? Kalau di Indonesia ya sama.

by : Saidi lubis

1 komentar:

Copyright @ 2013 Blog Muhammad Saidi .